Beberapa hari ini, dunia penulisan dihebohkan oleh penulis Tere Liye saat mengumpat dengan cukup kasar karena masalah pembajakan buku yang masih saja meresahkan di negeri ini.
Di sini, saya tidak membahas apakah saya setuju atau tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh penulis kenamaan tersebut. Jika memperdebatkan setuju dan tidak setuju, rasanya sampai Miss Universe dihelat di Indonesia tak akan rampung.
Namun, saya menarik sebuah kesimpulan sederhana dari apa yang sedang terjadi mengenai dunia kepenulisan di negeri ini.Â
Harus saya akui jika menjadi penulis buku adalah profesi yang kurang begitu dihargai di negeri ini. Tidak sebatas pada usaha untuk melawan pembajakan saja, tetapi pada proses pembuatan buku itu sendiri yang sering masih dianggap "tabu" oleh lingkungan sekitar. Atau dengan kata lain, menjalani profesi penulis buku menjadi sesuatu yang dianggap sia-sia dan tak banyak faedahnya dibandingkan menekuni kegiatan lain.
Mengapa saya bisa mengatakan demikian?
Karena saya pernah mengalaminya sendiri. Ketika saya ditanya kesibukan saya oleh kerabat dekat saat pembuatan buku pertama saya, bukan dukungan dan semangat yang saya dapat. Melainkan, pertanyaan dan sedikit cibiran atas apa yang saya kerjakan.
Mau menulis buku buat apa?
Dapat keuntungan berapa?
Bukunya dijual ke mana?
Bagaimana kalau bukunya belum atau tidak laku? Sayang kan kertasnya.
Pertanyaan itu kerap muncul yang membuat mental saya sedikit down. Akan tetapi, untunglah beberapa teman tetap menyemangati saya agar tetap mencoba paling tidak sekali seumur hidup saya bisa menerbitkan buku. Tentu, saya memilih untuk lebih memperhatikan mereka yang menyemangati saya.