Setelah sekian purnama, akhirnya saya bisa merasakan lagi pijat refleksi. Ini tak lepas dari larangan panti pijat untuk buka selama wabah covid-19 merebak. Bagi saya, pijat adalah kebutuhan dasar yang harus ditunaikan paling tidak sebulan sekali.
Maka, ketika banyak tempat umum ditutup, saya sempat kalut bagaimana bisa tetap waras dengan tidak pijat. Tidak nge-Mall tidak masalah. Tidak nongkrong di warkop juga tak masalah. Tapi tidak pijat? Rasanya badan sudah mreteli semua.
Untungnya, beberapa hari yang lalu, beberapa panti pijat sudah mulai buka. Termasuk, panti pijat langganan saya. Tanpa banyak bicara, saya pun segera masuk ke panti pijat yang membuka cabang di beberapa kota tersebut.
Sama dengan tempat umum lain, saya pun dicek suhu tubuh. Aturannya pun sama, bagi pelanggan dengan suhu tubuh di atas 37 derajat Celcius tidak diperbolehkan masuk. Saya gembira sudah bisa melewati tahap ini karena suhu tubuh saya di kisaran 35 derajat Celcius. Saya juga langsung diminta untuk mencuci tangan dengan hand sanitizer di tempat yang disediakan.
Meski demikian, kegembiraan saya tidaklah lama. Saya harus mengisi surat penyataan mengenai beberapa hal terkait penyebaran covid-19. Beberapa pernyataan yang harus saya isi antara lain:
- Tidak bepergian keluar kota selama 14 hari sejal tanggal tersebut
- Tidak menunjukkan gejala penyakit covid-19 seperti batuk, pilek, dan sesak nafas
- Harus mencuci tangan dengan sebelum memulai kegiatan pijat
- Memakai masker selama kegiatan pijat berlangsung
Hampir semua poin sudah saya penuhi terkecuali poin nomor 2. Memang, pada saat saya datang ke tempat pijat tersebut, saya dalam keadaan sehat dan tak bergejala. Tetapi, saya tidak bisa menjamin jika pada prosesnya nanti, saya bisa saja batuk atau bersin dikarenakan pendingin ruangan memiliki suhu yang rendah. Saya memang alergi dingin. Ini yang saya utarakan sebelum mengisi surat pernyataan kepada sang resepsionis.
Maka, sebelum saya menyepakati untuk memilih paket pijat, sang resepsionis pun menelepon pemilik usaha mengenai kondisi saya. Apakah saya diperbolehkan untuk pijat atau tidak. Cukup lama pembicaraan telepon antara sang resepsionis dengan sang pemilik. Di satu sisi, protokol kesehatan tetap ingin dijalankan. Di sisi lain, mereka juga tidak ingin mengecewakan pelanggan yang sudah lama tidak pijat dan juga saat itu kondisi sedang sepi.
Saya pun mendapat terapis laki-laki yang mengenakan masker dan face shield. Walau di tengah pandemi, sang terapis tetap mencuci kaki saya sebelum memulai kegiatan pijat. Ia juga mulai memijat bagian kaki sama dengan yang dilakukan oleh para terapis lain sebelum pandemi ini merebak.
Yang membedakan adalah selama kegiatan pemijatan, kami jadi irit bicara. Ini berbeda dengan sebelum pandemi, ada saja cerita ngalor ngidul yang terjadi  antara terapis dan pelanggan. Entah mengenai kehidupan sehari-hari, penyakit yang diderita pelanggan, hingga suka duka terapis selama menjalani aktivitasnya. Walau omongan tersebut seakan tanpa arah, tetapi bisa mengusir kejenuhan selama proses pemijatan. Tak hanya itu, obrolan ringan itu juga sebagai sarana untuk mematikan ponsel sejenak agar bisa all out merasakan pijatan yang dilakukan sang terapis.