Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Saya Mengaku Pancasila tapi Mengapa Sulit Sekali Menerapkan Butir-butir Pengamalan Pancasila?

1 Juni 2020   10:05 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:20 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - Antarimedia.com

Dalam 24 jam terakhir, lini masa media sosial kita penuh dengan berbagai ucapan "Selamat Hari Lahir Pancasila". Dengan beberapa diantaranya berbunyi "Saya Pancasila, Saya Indonesia". Tentu, rasa bangga dan haru akan terpatri, terlebih sejak dahulu kala kita sudah didoktrin bahwa Pancasila adalah dasar negara, falsafah hidup bangsa, dan kebribadian bangsa Indonesia yang tidak bisa jauh dari kehidupan kita.

Lantas, sudahkah kita yang mengaku pancasila mengamalkan butir-butir pancasila? Apa kita hanya mengaku pancasila yang murni dan konsekuen seperti yang didengungkan oleh pemerintah rezim orde baru? Untuk menjawabnya, sebenarnya bisa kita amati dari penerapan butir-butir pengamalan sila-sila di dalam Pancasila. Penerapan ini sudah diajarkan sejak SD Kelas 1 hingga kuliah dalam mata pelajaran atau muatan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Dimulai dari sila pertama mengenai ketuhanan, ada butir menghormati kebebasan menjalankan ibadah. Butir ini menjadi soal yang hampir muncul berulang pada setiap ulangan. Lantas, sudahkah kita melaksanakan dengan baik? Barangkali sudah. Ketika kita memberi kesempatan kepada teman yang berbeda agama untuk beribadah. Mengganti jadwal bertemu atau bercakap di luar jam ibadah. Namun, masih ada saja diantara kita yang menganggap orang yang berbeda dengan kita dengan sebelah mata.

Tidak harus berbeda agama, kadang dalam satu agama pun, ketika ada praktik keagamaan yang berbeda, meski sama-sama benar malah menjadi adu untuk saling debat bahkan saling caci. Disadari atau tidak, melakukan hal yang demikian tidaklah mengamalkan butir-butir pancasila sila pertama.

Pengamalan terhadap sila pertama juga berkaitan erat dengan kadar ketakwaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana kita beribadah dan percaya bahwa ada kekuatan Tuhan yang mampu membimbing kita. Tidak terlalu galau dengan kehidupan dan memasrahkan diri pada Tuhan setelah berusaha adalah pengamalan sederhana dari sila pertama ini. 

Mengaku saya pancasila tetapi masih galau dengan kehidupan percintaan, kerja, atau lainnya di media sosial rasanya kurang bisa memaknai pengamalan ini. Sebagai manusia wajar mengeluh tetapi kalau terus-terusan kok rasanya kurang bisa memaknai sila pertama ini ya.

Pengamalan yang cukup penting juga terdapat dalam sila kedua yakni kemanusiaan. Ada butir memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya. Ini penting karena kita sering lupa ketika merasa derajat atau harkat kita lebih dari orang lain. Merasa pekerjaan kita lebih utama dibandingkan orang lain. Kemarin ramai di twitter masalah slip gaji dan membandingkan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Sungguh, kegiatan ini amatlah bertentangan dengan pengamalan sila kedua pancasila.

Kalau kita mengaku pancasila, kita harus menghargai apapun profesi kita dan orang lain selama itu baik. Tidak perlu merasa lebih atau bahkan sebaliknya. Kita juga harus memperlakukan  berbagai profesi yang kerap dianggap sebelah mata dengan baik. Entah tukang becak, dokter, polisi, tentara, tenaga kebersihan, dan lain sebagainya. Sila kedua menyiratkan untuk bisa menghargai ini. Kalau kita masih belum bisa memiliki prinsip menghargai pekerjaan ini, maka menyebut diri sebagai pancasila rasanya sebuah antitesis.

Sila kedua juga bermakna tidak semena-mena kepada orang lain. Contoh sederhananya adalah ketika meminjam uang kepada rekan atau saudara, hendaknya segera dikembalikan ketika ada rezeki. Karena hutang adalah hutang dan bisa saja uang tersebut juga dibutuhkan, maka berlarut-larut dalam mengembalikan hutang adalah tindakan yang bertentangan dengan butir pengalaman sila kedua. 

Atau, ketika kita menggunakan jasa orang lain, setelah hak kita terima, sudah sepantasnya kita memberi mereka upah yang semestinya. Membeli barang dari teman dengan harga yang sesungguhnya juga penerapan sederhana ini dengan tidak meminta harga teman. Disadari atau tidak, meminta harga teman ketika teman kita merintis usaha adalah tindakan yang tidak manusiawi dan beradab.

Pengamalan sila kedua ini juga berani membela kebenaran dan keadilan. Tetapi, kita harus berhati-hati dalam melakukan kegiatan ini terlebih saat ini banyak berita simpang siur terhadap suatu isu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun