Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Antara "Inggih" dan "Injih"

21 Maret 2020   07:53 Diperbarui: 21 Maret 2020   17:31 8603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, mengapa kami menggunakan dua kata berbeda meski artinya sama? Bukankah sama-sama masih bahasa Jawa?

Perbedaan ini bermula pada peristiwa Palihan Nagari atau keterbelahan Pulau Jawa menjadi dua bagian saat Perjanjian Giyanti. Kerajaan Mataram Islam yang begitu perkasa harus dibelah menjadi dua menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Akibat keterbelahan itu, masyarakat Jawa pun ikut terbelah dalam hal budaya.

Menurut Prof Djoko Suryo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), akibat adanya Palihan Nagari, beberapa waktu kemudian ada semacam pilah klaim kebudayaan.

Mulai timbul yang namanya klaim "wong Solo" dan "wong Yogya". Klaim kebudayaan ini terdiri dari pakaian adat yang digunakan, seperti blangkon.

Jika blangkon Solo lebih pipih pada bagian belakang maka blangkon Yogya memiliki semacam "punuk" di bagian belakang tersebut. Dalam hal tarian, "wong Solo" lebih ke bentuk gerakan halus dan merendah sedangkan "wong Yogya" lebih menonjolkan kegagahan.

Nah, pilah kebudayaan ini kemudian juga diikuti oleh pilah bahasa walau tak terjadi seketika. Yang satu "inggih" dan yang lainnya "injih". Wong Solo akan menggunakan kata "inggih" dan wong Yogya akan mengatakan "injih" meskipun keduanya memiliki arti sama. Varian "inggih" dan "injih" inipun menjadi fitur pembeda wong Solo dan wong Yogya.

Dalam sebuah studi masalah perbedaan dua varian bahasa ini, seorang penjual batik orang Imogiri Yogyakarta di makam Pajimatan (makam raja-raja di Imogiri) menceritakan bagaimana pandangannya tentang "injih" dan "inggih".

Imogiri sendiri merupakan bekas wilayah enklave Surakarta yang berada di wilayah Yogyakarta. Di sana, masih banyak "wong Solo" yang begitu setia mempertahankan budayanya, termasuk bahasa meski dikepung oleh budaya "wong Yogya". 

Menawi Solo utawi bagongan rak inggih, menawi Yoja rak injih. Kula injih. Kaliyan Kanjeng Ratu Hemas menika kula rak asring pun timbali. Njih, sok komunikasi kaliyan Ibu Ratu Hemas".

"Kalau Solo atau bagongan yaitu inggih, sedangkan Yogya itu injih. Saya (menggunakan) injih. Kanjeng Ratu Hemas (permaisuri Sultan HB X) sering memanggil saya. Ya, sering berkomunikasi dengan Ibu Ratu Hemas."

Dari petikan pengakuan tersebut, terlihat jelas bahwa klaim kebudayaan kedua wilayah itu masihlah terasa hingga kini. Meski pada akhirnya dengan sendirinya "wong Solo" yang hidup di Jogja akhirnya harus bisa membiasakan diri menggunakan "injih" dan bukan "inggih".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun