Setelah sekolah diliburkan selama dua pekan, akhirnya saya juga melakukan hal yang sama kepada bimbel yang saya kelola. Pembelajaran pun saya alihkan secara virtual melalui grup WA. Mulanya, beberapa orang tua merasa keberatan. Alasannya, bimbel masih menjadi salah satu alternatif dalam pembelajarann di kala sekolah libur. Pemikirian mereka adalah letak bimbel yang masih dekat dengan rumah sehingga sebetulnya tidak terlalu mendesak untuk diliburkan.
Namun, saya masih tetap kukuh pada pendirian untuk mencegah hal yang tak diinginkan. Bagaimana jika ada salah seorang siswa yang sudah tertular virus covid-19 lalu menularkan ke siswa lainnya? Inilah yang menjadi pertimbangan.
Dalam melakukan bimbel secara virtual, saya membagi sesi belajar dengan jumlah yang lebih banyak. Kalau biasanya hanya ada 3 sesi antara pukul 15.30 hingga 21.00, kini ada 4 sesi yang bisa diikuti. Saya menambahkan sesi pagi mulai pukul 08.00 hingga 10.30. Pada sesi pagi ini, saya beri kesempatan mereka untuk bertanya secara japri kepada saya atau tentor lain yang sudah saya tunjuk mengenai tugas sekolah yang mereka dapat.
Maklum, dalam dua pekan libur, tugas mereka amatlah banyak. Beberapa diantaranya cukup berat lantaran harus membuat beberapa model seperti sikus air. Tentu, ini juga menjadi bahan pertimbangan bagi guru yang memberikan tugas kepada siswanya untuk sementara waktu mengurangi tugas yang mengharuskan siswa keluar rumah demi mencari bahan. Kalau barang tersebut mudah didapat tidak apa-apa. Kalau sulit, kan waktu social distancing ini menjadi sia-sia.
Selama kegiatan les virtual, mau tak mau saya harus stand by pada layar ponsel. Mereka saya minta memfoto tugas yang belum mereka kuasai dan saya pandu cara menegerjakan dari jauh. Walau beberapa siswa mampu menangkap apa yang saya berikan, tetapi diantaranya cukup kesulitan. Disadari atau tidak, bimbel virtual semacam ini masih memiliki kekurangan.
Saya tidak bisa menerangkan materi dengan jelas sesuai karakter mereka masing-masing. Lantaran diburu waktu dan target untuk mengerjakan soal tertentu, mereka mau tak mau harus bisa memahami materi dengan cepat. Kesulitan seperti ini saya temukan pada siswa kelas 6 SD yang harus mengerjakan sejumlah soal dengan jumlah yang cukup banyak.
Untuk menyiasatinya, akhirnya saya merelakan waktu lagi melakukan panggilan suara dan video dengan mereka di luar jadwal les virtual tersebut. Ini dimaksudkan agar mereka tetap bisa menyerap apa yang mereka pelajari sebaik-baiknya. Saya beri kesempatan kepada mereka mengerjakan soal yang mereka bisa terlebih dahulu dan menyiapkan soal mana saja yang belum mereka pahami.
Untuk itulah, pada masa tanggap darurat pencegahan covid-19, sudah sepantasnya operator seluler memberikan diskon terutama bagi kalangan pelajar. Pemerintah pun juga harus berupaya agar kegiatan pembelajaran virtual selama dua minggu ini bisa dijalankan dengan baik tanpa adanya kendala teknis. Sungguh, harus terputus koneksi saat menerangkan kepada siswa sangatlah tidak enak. Apalagi saat siswa mulai paham dengan materi yang sedang ditanyakan.
Kendala lainnya adalah tidak semua siswa memegang ponsel pada saat kelas virtual berlangsung. Ponsel dibawa oleh ayah ibunya untuk bekerja. Beberaap diantaranya digunakan untuk berjualan. Saya sangat paham akan masalah ini karena itu pun bagian dari mata pencaharian mereka. Makanya, saya pun menambah ekstra waktu bimbel virtual bagi mereka yang penggunaan ponselnya bergabung bersama orang tua mereka.
Tak hanya sampai di situ saja, dengan kualitas ponsel yang beragam, kadang foto yang mereka kirimkan tidak terlalu jelas. Buram dan tak terbaca membuat saya dan tentor lain cukup kesulitan dalam memahami apa yang mereka tanyakan. Lagi-lagi, mispersepsi pun muncul. Masalah semakin pelik jika siswa tersebut masih kelas kecil -- kelas 2,3, dan 4 SD -- yang tak begitu paham berkomunikasi dengan ponsel dengan baik. Makanya, untuk kelas kecil saya mewanti-wanti agar didampingi oleh orang tua mereka selama bimbel virtual berlangsung. Kelas lain pun sebenarnya harusnya sama tetapi masih bisa dikondisikan.