Dunia pendidikan beberapa waktu terakhir banyak dihebohkan dengan banyaknya kasus bunuh diri yang menimpa mahasiswa semester akhir.
Mereka yang mengakhiri hidup merasakan tekanan yang amat luar biasa saat mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Terakhir, seorang mahasiswa di Yogyakarta ditemukan meninggal bunuh diri. Yang membuat miris, mahasiswa tersebut diduga menggunakan gerinda yang digunakan untuk memotong ubin sebagai alat bunuh dirinya.Â
Meski kejadian ini masih diselidiki oleh pihak kepolisian, diduga kuat mahasiswa tersebut nekat mengakhiri hidupnya lantaran stres akibat masalah skripsi yang tak kunjung selesai. Dan juga, ada kemungkinan masalah keluarga yang menimpanya.
Kasus ini bukan kali pertama dan sering berulang. Skripsi dianggap sebagai momok menakutkan bagi hampir sebagian besar mahasiswa nyatanya memberikan efek psikologis yang cukup buruk. Menghapus skripsi tentu bukan alternatif solusi. Masalah sebenarnya, masalah ini terletak dari kurangnya mahasiswa terutama tingkat akhir dalam mengelola stres mereka.
Pengalaman mengerjakan skripsi yang saya lakukan beberapa tahun lalu memang ada tekanan luar biasa untuk bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik. Lulus tepat waktu, dengan nilai memuaskan, hingga bisa menghadapi tekanan dari dosen pembimbing dan penguji membuat saya juga mengalami stres. Tak sampai bunuh diri, tetapi sebuah penyakit GERD harus saya idap bahkan hingga sekarang.
Berkaca ke belakang, ada beberapa hal yang menjadi benang kusut dari tidak mampunya diri saya dan mahasiswa tingkat akhir lain dalam mengelola stres. Gagapnya diri mereka terhadap tekanan baru bernama skripsi yang berbeda dengan ujian lainnya semacam ujian nasional. Saya sendiri merasa, meski cukup bisa mengelola stres saat UN berlangsung, tetapi diri saya tak mampu melawan stres akibat skripsi.Â
Ketidakpastian akan bagaimana hasil yang didapat dari pernelitian skripsi menjadi salah satu penyebabnya. Dalam perjalanannya, kadangkala ada saja masalah yang timbul. Masalah ini tidak bisa dilatih dengan cara mengerjakan soal tetapi ada kemampuan manajemen diri yang harus digunakan sebaik-baiknya.
Kemampuan ini sebenarnya mutlak dimiliki mahasiswa sejak semester awal. Menyandang gelar "maha", dibandingkan siswa biasa, ia harus lebih tahu cara menyelesaikan persoalan dengan berbagai cara dengan tepat, efektif, dan efisien. Nyatanya, seberapa banyak mahasiswa yang bisa melalui ini semua tanpa ada tekanan yang tinggi dalam dirinya? Saya rasa tidak banyak.
Keadaan ini bisa jadi timbul dari tidak adanya pihak yang bisa dijadikan rujukan dan konsultasi saat mengerjakan skripsi. Saya membandingkan dengan pengalaman saat di SMA dulu, ketika saya rajin ke BK dan wali kelas untuk berkonsultasi mengenai pemilihan jurusan di SMA dan pemilihan jurusan di kuliah.Â
Proses bimbingan psikologi di SMA pun lebih teratur karena ada minimal 1 jam pelajaran tatap muka dalam seminggu sekali. Kadang, tiap siswa juga digilir dipanggil oleh guru BK untuk berkonsultasi mengenai masalah belajar mereka.
Apakah hal semacam ini saya dapatkan saat kuliah?