Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Manajemen Apik nan Sederhana di Wisata Puncak Bukit Agaran Purwokerto

1 November 2019   08:24 Diperbarui: 1 November 2019   08:23 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukit Agaran Purwokerto. - Dokumen Pribadi

Saya tidak yakin jika malam itu cuaca akan kembali cerah.

Maklum saja, sejak siang hari, hujan turun deras di Kota Purwokerto hingga senja menjelang. Dimas --rekan saya yang menemani perjalanan di kota ini menghubungi saya kala saya tidur di penginapan. Ia baru saja turun dari sebuah bukit yang sejatinya akan saya kunjungi. Bukit Agaran.

Tak ada satupun air yang menetes dari langit.

Begitu ujaran yang saya dapat darinya. Saya sempat ragu namun kala ia memberikan potret dirinya yang masih mengenakan baju yang sama saat kami jalan pada pagi hari, barulah saya optimis. Saya pun memutuskan untuk mengiyakan ajakannya dan akan berangkat selepas salat Magrib dikerjakan.

Maghrib pun tiba. Dimas menjemput saya di penginapan tepat beberapa saat setelah Mahgrib. Dari arah Buaran, Purwokerto Utara, saya diajak dahulu untuk makan di sekitar kampus Unsoed. Lepas kenyang, barulah kami memulai perjalanan ke arah Kedung Banteng, yang masih berada di sekitar kaki Gunung Slamet. Bedanya, daerah ini berada di sisi sebelah barat sedangkan wisata Baturraden berada di sisi timurnya.

Hujan masih turun dengan cukup rintik. Dimas yang enggan mengenakan jas hujan membuat saya geleng-geleng kepala. Rupanya, ia memang ahli memprediksi cuaca. Baru beberapa menit kami berjalan, saat berada di sebuah pertigaan jalan antara Kedung Banteng dan Baturraden, hujan pun reda. Bahkan, tak tampak bekas genangan air di jalan aspal yang kami lalui.

Otomatis, saya pun memintanya menepi sebentar untuk melepas jas hujan yang saya kenakan. Perjalanan kami lanjutkan dengan medan jalan yang mulai menanjak. Berliku, dan sesekali Dimas harus mengklakson motornya dengan keras dikarenakan kondisi jalan yang gelap. Sepintas, tak terlihat jelas mobil atau motor yang baru turun dari arah puncak bukit yang akan kami datangi.

Selepas kami berkendara sekitar 20 menit, barulah ada beberapa rumah penduduk yang mulai terlihat. Saya menghela nafas lega karena saat berada di jalan sepi sebelumnya, Dimas beralasan menggeber motornya dengan kencang. Ia takut dengan adanya begal yang kadang mengintai pengendara di sana.

Perkampungan penduduk kembali berganti dengan hutan lebat. Jalan pun semakin menanjak dan mulai rusak. Walau demikian, rupanya kami sudah cukup dekat. Dimas amat hati-hati dalam mengendarai motornya lantaran bebatuan yang cukup besar menjadi alas motor kami sepanjang jalan itu. Hingga, kami pun sampai di sebuah tanah lapang yang cukup luas.

Dimas pun memarikirkan motornya dan meminta saya membayar tiket parkir sebesar 2.000 rupiah. Sebenarnya, kami harus membayar tiket masuk seharga 5.000 rupiah per orang. Namun, karena Dimas kenal dengan petugas tiket di sini, maka kami tidak perlu membayar.

Uniknya, saat kami datang, rupanya hujan baru saja turun. Padahal, dari tanah lapang ini, kami masih harus melakukan pendakian ke puncak bukit. Makanya, saya menyiapkan perbekalan berupa air mineral yang saya beli di warung di sekitar tanah lapang tersebut.

Warung di tanah lapang. - Dokumen Pribadi
Warung di tanah lapang. - Dokumen Pribadi
Kami pun mulai mendaki bukit. Dimas memilihkan jalan yang lebih dekat tetapi memiliki elevasi yang cukup ekstrem. Saya -- yang hampir setiap tahun mengalami kenaikan berat badan dengan cukup signifikan -- harus terengah dan sesekali berhenti. Walau demikian, saya cukup menikmati perjalanan ini lantaran di sepanjang jalan setapak yang saya lalaui, telah tersedia lampu penerangan di sisi jalan. Tempat sampah yang memadai juga tersedia. Yang membuat saya semakin kagum adalah adanya beberapa bangku yang dipasang di bagian jalan yang cukup datar. Jadi, pengunjung yang sudah ngos-ngosan seperti saya akan bisa beristirahat sejenak.

Saya memanfaatkan bagku tersebut barang sebentar. Dimas yang tertawa melihat saya kepayahan mencoba menyemangati saya. Rasa semangat saya baru kembali membara ketika saya melihat ada sesosok Bapak paruh baya yang turun dari puncak bukit. Ia yang mengenakan lampu kepala tampak cukup kepayahan menuruni bukit sambil membawa baki berisi gelas.

Jalan menuju puncak bukit dengan penerangan memadai. - Dokumen Pribadi
Jalan menuju puncak bukit dengan penerangan memadai. - Dokumen Pribadi
Ia pun menyapa kami dan turun menuju tanah lapang tempat warung-warung berjajar. Dimas mengatakan bahwa bapak itu memang bertugas membawa berbagai makanan dan minuman untuk pengunjung di atas bukit. Jadi, sang bapak akan bolak-balik naik turun bukit sepanjang malam itu sambil membawa aneka pesanan pengunjung. Menurut Dimas, ini adalag salah satu bentuk pelayanan khas dari wisata bukit ini.

Sungguh saya tercekat dan membulatkan tekad untuk bisa segera menuju puncak. Dan akhirnya kami tiba. Di puncak bukit itu, tampak samar-samar gemerlap Kota Purwokerto yang sangat jelita. Kota semu yang masih bagian dari Kabupaten Banyumas ini memang menawan. Ia tak hanya menyuguhkan keindahan alam tetapi keindahan bentang sosial di dalamnya. Tak heran, ia mendapat julukan kota pensiun lantaran kenikmatannya untuk singgah dalam waktu lama. Memberi pelayanan maksimal kepada siapa saja yang singgah ke sana.

Salah satu spot foto di puncak bukit. - Dokumen Pribadi
Salah satu spot foto di puncak bukit. - Dokumen Pribadi
Termasuk pula salah satu rekan Dimas yang bertugas menjaga puncak bukit ini. Ia melayani banyak pengunjung terutama mahasiswa yang kemping di sana. Aneka tenda dan peralatan kemping pun tersedia dengan murah. Satu hal lagi yang membuat saya semakin takjub adalah adanya fasilitas internet di puncak bukit ini. Baru kali ini saya menemui tempat wisata dengan fasilitas tersebut. Untuk menikmatinya, saya harus membayar password wifi seharga 1.000 rupiah untuk satu jam penggunaan. Sungguh, harga yang sangat murah.

img20181215192626-5dbb8775d541df2918042212.jpg
img20181215192626-5dbb8775d541df2918042212.jpg
Dimas (kiri) dan rekannya yang menjadi pengelola wisata ini. Dengan akses internet cepat mengunggah foto pun segera bisa dilakukan. - Dokumen Pribadi
Dimas (kiri) dan rekannya yang menjadi pengelola wisata ini. Dengan akses internet cepat mengunggah foto pun segera bisa dilakukan. - Dokumen Pribadi
Koneksi internet yang saya dapat cukup lancar. Saya langsung bisa mengunggah foto terbaik saya di Instagram yang langsung mendapat ratusan likes dari follower setia. Kalau tahu begini, mestinya saya  membawa laptop sembari menulis artikel di Kompasiana. Kapan lagi ngeblog dari atas bukit ditemani segelas kopi hangat dan keindahan Kota PWT.

Hampir tiga jam lamanya saya berada di puncak bukit. Kalau tak ingat besok harus pulang dengan KA Logawa selepas subuh, pasti saya keenakan dan memutuskan menginap di sana. Di Bukit Agaran, sebuah bukit cantik yang memesona. Sebuah tempat wisata yang memiliki manajemen sederhana tetapi betul-betul memanjakan para pengunjungnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun