Awal ajaran baru menjadi salah satu dilema saya saat mengajar di sekolah dulu.
Bukan administrasi pekerjaan yang menumpuk dan laporan BOS yang memang sudah menjadi momok tiap triwulan, namun kegiatan pengacakan kelas ini yang menjadi salah satu hal yang sering menjadi dilema selama bekerja di sana.
Sekolah saya memiliki 18 rombongan belajar untuk 6 tingkat. Jadi, masing-masing tingkatan memiliki 3 kelas paralel A, B, dan C. Tiap tahun, rapat guru dan kepala sekolah sudah memutuskan bahwa akan dilakukan pengacakan kelas pada tiap tingkatan.
Artinya, konfigurasi siswa yang ada pada tingkat sebelumnya akan berbeda pada tingkat selanjutnya. Misalkan kelas A untuk tingkat kelas 4 akan berbeda saat siswa-siswi tersebut berada di kelas 5 dan seterusnya. Kegiatan pengacakan kelas ini ternyata tidak dilakukan oleh semua sekolah.
Ada sekolah yang masih mempertahankan konfigurasi kelasnya mulai kelas 1 hingga kelas 6. Di sini, saya berbicara sekolah yang memiliki lebih dari 1 kelas paralel tiap tingkatan. Jika sekolah tersebut hanya memiliki 1 kelas paralel ya otomatis pengacakan kelas tidak akan dilakukan.
Menurut rekan guru yang sekolahnya tidak melakukan pengacakan kelas, alasan utamanya adalah untuk mempermudah administrasi. Tidak mengacak kelas berarti mempercepat pengerjaan aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) lantaran operator tinggal memilih pilihan "naik kelas" dan secara otomatis satu kelas penuh pada tingkat sebelumnya akan beralih posisi menjadi tingkat sleanjutnya.
Alasan lainnya, tenaga TU di sekolah tersebut sangat terbatas. Mengacak kelas juga berarti mengacak absensi siswa dan data lainnya sehingga memperlambat administrasi sekolah. Intinya, alasan utama dari tidak dilakukannya pengacakan kelas adalah untuk mempermudah administrasi. Rekan guru tersebut juga mengatakan bahwa kemampuan siswa di tiap kelas paralel telah merata sehingga pengacakan kelas tidak perlu dilakukan.
Keuntungan lain dari tidak dilakukan pengacakan kelas adalah mempermudah koordinasi wali murid dalam hal acara paguyuban wali siswa. Tidak mengacak kelas berarti pula tidak mengacak konfigurasi wali murid di dalamnya sehingga program kegiatan kesiswaan yang dijalankan oleh mereka masih bisa berjalan baik. Semisal, adanya kegiatan menabung untuk outbound, kemah, jalan-jalan, dan lain sebagainya. WAG wali murid pun juga tetap dan tidak perlu dibubarkan.
Apalagi, wali murid saat ini banyak yang kerap protes dari belakang namun jika diberi kesempatan berbicara di depan forum, mereka tidak berani mengungkapkannya. Inilah salah satu kelemahan pengacakan kelas saat tidak ada figur wali murid yang mau terjun langsung menyatukan dan menangani wali murid lain serta dengan telaten menjelaskan program sekolah kepada mereka.
Untunglah, saat ini paguyuban biasanya tidak berjalan terpisah tiap kelas namun dilakukan secara menyeluruh dalam tiap tingkatan. Jadi, misalkan kelas A akan pergi darmawisata ke kebun teh maka akan otomatis diikuti kelas B dan C. Â
Di sisi lain, pengacakan kelas juga memberi manfaat. Selain sebagai kebijakan memeratakan kemampuan siswa, pengacakan kelas juga melatih siswa untuk bersosialisasi mengenal lebih jauh teman mereka dalam satu sekolah. Mereka bisa melakukan adaptasi dengan teman baru dan memberi ruang kepada mereka untuk belajar bahwa lingkungan pergaulan mereka tidak sebatas pada lingkar yang sama. Pergaulan dengan lingkar yang sama akan menyebabkan beberapa permasalahan.