Kalau membandingkan PBM dengan DTC atau Pasar Wonokromo, jelas PBM cukup tertinggal. Di DTC, lantai bawah memang terasa cukup pengap. Tapi tidak dengan lantai atas yang full AC. Makanya, kala saya menemani ibu berbelanja kain di lantai dua ini, saya selalu siap sedia dengan kipas angin kecil yang dinyalakan menggunakan sumber energi baterai.
Lagi dan lagi, walau saya harus menahan panas yang amat sangat, berbelanja kain atau baju di PBM ini sangatlah murah. Sebagai perbandingan, saya pernah membeli satu buah celana panjang hitam dengan harga 60.000 rupiah saja. Jika membeli barang tersebut di Mall, pasti berkisar di atas 120.000 rupiah. Maklum, PBM menjadi pasar grosir terbesar di Kota Malang.
Di lantai dua ini, ada pula optik kacamata yang juga memberikan tarif khusus bagi pelanggannya. Saya pernah membeli frame kacamata seharga 200.000 rupiah. Kala saya menemukan dengan model dan jenis yang sama di optik terkenal, harganya bisa mencapai 500.000 rupiah. Ibu saya sendiri berbelanja kain batik yang digunakan sebagai seragam di sekolahnya. Di sini juga tersedia banyak toko yang menyediakan batik khas sekolah.
Kini, semua itu lenyap. Yang ada, bangunan kosong tempat para gelandangan di Kota Malang tidur dan makan. Hingga akhirnya, tempat tersebut digunakan sebagai tempat mutilasi yang menghebohkan itu. Sang pelaku yang ternyata seorang gelandangan diduga menjadikan lantai 3 PBM sebagai tempat tidur dan tindakan asusila kepada korbannya.
Saya hanya ingin pasar ini dikenal baik layaknya ikon kota lain seperti Pasar Klewer, Pasar Beringharjo, Pasar Turi, ataupun Pasar Tanah Abang. Bukan berita kasus mutilasi yang menghebohkan dan membuat nama pasar tradisional ini semakin kelam. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H