Selain dikenal sebagai salah satu kota yang memegang teguh kebudayaan Jawa, Kota Yogyakarta ternyata dikenal sebagai salah satu kota tempat para ulama. Salah satunya adalah ulama yang begitu tersohor di kalangan Nahdatul Ulama (NU). Beliau adalah KH. Ali Maksum. Pengasuh sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Kota Yogyakarta.
Sekilas tentang KH. Ali Maksum
Kiai Ali, begitu beliau biasa dipanggil, merupakan sosok yang lahir tidak jauh dari lingkungan pesantren. Ayah ibu beliau merupakan tokoh pesantren yang berada di Lasem, Jawa Tengah. Lahir pada tahun 1915, Kiai Ali tumbuh dalam tradisi pesantren yang kuat. Beberapa kiai ternama pernah menjadi gurunya, seperti KH Amir (Pekalongan) dan KH Dimyati (Tremas, Pacitan).
Awalnya, selepas dewasa, Kiai Ali mengembangkan pesantren ayahnya di Lasem. Namun, sepeninggal KH. Munawwir, sang mertua, beliau diminta untuk mengelola pesantren di Krapyak Yogyakarta. Mendapat permintaan itu, Kiai Ali pada mulanya menolak. Bagi Kiai Ali, keengganannya mengelola pesantren tersebut lantaran ada yang lebih berhak darinya. Siapa lagi kalau bukan putra-putri dari KH. Munawwir sendiri.
Pihak keluarga KH. Munawwir terus membujuk Kiai Ali agar bersedia mengelola pesantren di Krapyak. Alasannya, saat itu keadaan pesantren tersebut tidak begitu baik. Kiai Ali pun telah diketahui cukup berhasil mengembangkan pesantren di Lasem. Beliau juga dikenal cukup berhasil mengembangkan ilmu agamanya dengan spesialisasi bidang tafsir.
Maka, beberapa utusan terus dikirim ke Lasem untuk membujuk Kiai Ali agar bersedia turun tangan membantu Pesantren Krapyak. Hingga akhirnya, beliau luluh dan bersedia untuk menjalankan amanah tersebut setelah ibu mertuanya, Nyai Sukis, dan sang ipar, K.H. Raden Abdullah Afandi Munawwir datang langsung ke Lasem.
Namun, beliau tidak memimpin pesantren tersebut sendirian. Bersama KHR Abdul Qodir Munawwir dan KHR Abdullah Afandi Munawwir, Pesantren Krapyak coba dibesarkan dari masa-masa sulit. Masa peralihan dari  pendudukan Jepang, menjelang kemerdekaan, dan saat agresi milter. Terlebih, saat itu Kota Jogja sempat menjadi ibukota RI selama tiga tahun. Perjuangan ketiga tokoh ini dikenal kemudian dengan nama "Tiga Serangkai". Perlahan tapi pasti, Pesantren Krapyak yang sempat surut, kembali mekar dan menjadi salah satu pesantren besar di Kota Jogja.
Menangani Organisasi di Masa Sulit
Mungkin, Kiai Ali memang dikenal menjadi sosok yang bertangan dingin menyelamatkan suatu organisasi dalam masa sulit. Sejak tinggal di Kota Jogja, beliau membangun organisasi NU dari bawah. Kekuatan pemuda, pengusaha, mahasiswa, dan sebagainya beliau kumpulkan.
Pada masa Demokrasi Liberal, kala NU keluar dari Masyumi sebelum Pemilu 1955, Kiai Ali juga hadir menjadi salah satu tokoh yang berjasa. Meski baru menjadi salah satu kekuatan politik, NU berhasil menempati posisi ketiga dalam Pemilu 1955 di bawah PNI dan Masyumi. Kiai Ali juga berperan dalam menjaga persatuan NU saat permulaan Orde Baru. Terlebih, saat penyederhanaan partai oleh pemerintah pada 1973, NU benar-benar diuji. Jalan damai, yang digaungkan Kiai Ali menjadi salah satu titik keberhasilan dari jasa Kiai Ali meredam konflik di dalam tubuh NU.
Selain sebagai pengasuh Ponpes Krapyak, Kiai Ali juga menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga (dulu IAIN Suka) dan menjadi anggota penerjemah Tim Al-Quran sejak 1962. Di organisasi NU sendiri, Kiai Ali pernah menjadi Rais Syuriyah PWNU DIY pada tahun 1975-1981 dan Rais Am PBNU pada tahun 1981. Peran Kiai Ali di organisasi NU pun semakin besar.
Karomah terhadap Santrinya yang Unik
Menjadi seorang kiai yang disegani, Kiai Ali juga memiliki karomah unik. Salah satunya, seperti kisah yang diceritakan oleh Ahmad Majidun, santri di Krapyak sekaligus mahasiswa di IAIN Suka. Majidun yang dikenal sebagai aktivis kampus kerap meninggalkan pondok termasuk untuk kegiatan keluar kota. Ia akhirnya sering membolos kegiatan pengajian di pondok termasuk saat dibimbing Kiai Ali sendiri.
Suatu pagi, Kiai Ali memanggilnya. Majidun sempat khawatir sang kiai akan marah. Namun, bukan amarah yang didapat lantaran sering membolos, justru kejutan yang didapat oleh sang santri tersebut. Sang kiai malah menawarkan kepada santrinya untuk berjalan-jalan. Beliau akan menjadi sopir secara khusus bagi sang santri.
Kekagetan santrinya bertambah ketika mobil yang mereka tumpangi malah menuju IAIN Suka. Dengan tenang, saat ditanya oleh sang santri mengapa beliau menuju kampus tersebut, sang kiai menjawab alasan kedatangannya ke kampus tersebut bertujuan mengantarkan santri kesayangannya untuk kuliah.
Sungguh, jawaban ini kembali menjadi pukulan telak bagi sang santri yang sudah menanggung malu. Betapa tidak, ia sebenarnya juga jarang ikut perkuliahan lantaran lebih aktif berorganisasi. Selidik punya selidik, sang kiai ternyata juga pengajar di kampus tersebut. Suatu fakta yang baru diketahui sang santri tersebut. Cerita ini adalah salah satu bukti kedekatan Kiai Ali kepada santri-santrinya.
Di akhir masa hidup beliau, ada sebuah kisah miris yang dialami Kiai Ali. Pada suatu hari, ketika sedang menyampaikan ceramah, seseorang yang naik ke panggung acara. Orang tersebut membawa sesuatu yang dibungkus kain surban berwarna putih. Ternyata, bungkusan tersebut berisi linggis. Benda tersebut langsung dihantamkan kepada Kiai Ali secara membabi buta.
Sang kiai segera tersungkur dan terluka parah. Beliau bahkan harus menjalani opname selama hampir dua bulan selepas tindakan persekusi tersebut. Di tengah perawatan medis yang beliau jalani, ada sebuah pelajaran yang diberikan oleh sang kiai. Salah seorang santrinya, KH Abdul Karim, menerima pesan istimewa dari sang kiai. Pesan itu berbunyi:
"Kabeh anak-anakku lan santriku, ora keno dendam lan ora keno anyel (semua anakku dan para santriku, tidak boleh dendam dan benci)," kenang kiai yang akrab disapa Gus Karim itu, menirukan ucapan dari sang guru.
Berkat pesan ini, satu pelajaran berharga berupa sebuah kekuatan besar yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Kekuatan itu adalah sikap memaafkan, tidak saling membenci, dan tidak menyimpan dendam. Kekuatan ini jauh lebih ampuh dibandingkan kekuatan fisik apapun.
Pesan inilah yang terus mengalir kepada santri-santrinya. Kini, santri-santri dari berbagai daerah masih menyemarakkan pondok yang berada tak jauh dari Panggung Krapyak. Salah satu bangunan yang terhubung garis imajiner dengan kekuatan budaya Keraton Yogyakarta. Semarak untuk tetap berusaha semaksimal mungkin walau sang kiai wafat pada tahun 1989.
Alfatihah.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H