Dari angka 3, lalu berubah menjadi angsa. Dari angka 4 lalu berubah menjadi rumah.
Jari kecil saya terus bergerak mengikuti arahan dari suara berat yang keluar dari layar kaca. Walau goresan itu akhirnya terkotori oleh bekas hapusan, nyatanya saya menikmati kegiatan itu. Keasyikan yang hanya saya dapat seminggu sekali melalui layar kaca TVRI.
Orangtua saya tidak mampu mengirimkan saya ke sanggar lukis. Tak ada ada sanggar lukis pula yang ada di sekitar rumah saya. Untunglah, ada satu sosok yang begitu berjiwa besar mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak Indonesia.Â
Sosok yang kini masih dikenang anak-anak Generasi 90an, atau bahkan generasi sebelumnya. Sosok yang tegas, garang, namun kehadirannya sangat ditunggu. Pak Raden.
Pak Raden yang memiliki nama asli Suyadi merupakan salah satu tokoh kebanggaan Indonesia. Di tangannyalah sosok bonek Si Unyil tercipta. Dengan semangat membara, beliau sangat berjasa mewarnai kehidupan anak-anak Indonesia, termasuk saya.
Nostalgia akan masa kanak-kanak membawa saya ke Kota Mojokerto. Kota mungil yang berada tepat di jantung Jawa Timur ini ternyata menyimpan kisah dan peninggalan dari Pak Raden. Tak jauh dari Alun-alun Kota Mojokerto, sebuah museum bernama Museum Gubug Wayang berdiri.Â
Dari penuturan sebuah laman di internet, museum ini menyimpan aneka koleksi peninggalan dari Pak Raden yang begitu melegenda.
Tepat tengah hari di suatu akhir pekan, saya mendatangi museum tersebut. Selepas membayar tiket seharga 30.000 rupiah, saya diarahkan untuk mengganti sepatu saya dengan sandal ruangan. Seorang pemandu kemudian memandu saya untuk berkeliling museum 3 lantai tersebut.
Saya juga bisa menggumam bahwa keris juga terbagi lagi menjadi keris yang didapatkan langsung dari empu dan keris turunan. Jadi, tak ada yang namanya keris asli dan palsu. Hanya sebutan keris pertama atau turunan yang menjadi pembeda.