Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Nostalgia Kampung Si Unyil di Museum Gubug Wayang

5 April 2019   09:29 Diperbarui: 5 April 2019   12:05 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu karakter dalam Si Unyil. - Dokumen Pribadi

Dari angka 3, lalu berubah menjadi angsa. Dari angka 4 lalu berubah menjadi rumah.

Jari kecil saya terus bergerak mengikuti arahan dari suara berat yang keluar dari layar kaca. Walau goresan itu akhirnya terkotori oleh bekas hapusan, nyatanya saya menikmati kegiatan itu. Keasyikan yang hanya saya dapat seminggu sekali melalui layar kaca TVRI.

Orangtua saya tidak mampu mengirimkan saya ke sanggar lukis. Tak ada ada sanggar lukis pula yang ada di sekitar rumah saya. Untunglah, ada satu sosok yang begitu berjiwa besar mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak Indonesia. 

Sosok yang kini masih dikenang anak-anak Generasi 90an, atau bahkan generasi sebelumnya. Sosok yang tegas, garang, namun kehadirannya sangat ditunggu. Pak Raden.

Pak Raden yang memiliki nama asli Suyadi merupakan salah satu tokoh kebanggaan Indonesia. Di tangannyalah sosok bonek Si Unyil tercipta. Dengan semangat membara, beliau sangat berjasa mewarnai kehidupan anak-anak Indonesia, termasuk saya.

Nostalgia akan masa kanak-kanak membawa saya ke Kota Mojokerto. Kota mungil yang berada tepat di jantung Jawa Timur ini ternyata menyimpan kisah dan peninggalan dari Pak Raden. Tak jauh dari Alun-alun Kota Mojokerto, sebuah museum bernama Museum Gubug Wayang berdiri. 

Dari penuturan sebuah laman di internet, museum ini menyimpan aneka koleksi peninggalan dari Pak Raden yang begitu melegenda.

Tepat tengah hari di suatu akhir pekan, saya mendatangi museum tersebut. Selepas membayar tiket seharga 30.000 rupiah, saya diarahkan untuk mengganti sepatu saya dengan sandal ruangan. Seorang pemandu kemudian memandu saya untuk berkeliling museum 3 lantai tersebut.

Berfoto di depan patung Pak Raden. - Dokumen Pribadi
Berfoto di depan patung Pak Raden. - Dokumen Pribadi
Kesan eksotik nan mistis langsung terasa. Saya berasa seperti di sebuah pendapa. Deretan keris menjadi pembuka lantai dasar. Saya hanya bisa mengangguk-angguk ketika sang pemandu menjelaskan mengenai jenis keris yang secara garis besar dibagi menjadi 2, yakni keris lurus dan keris luk (bergelombang). 

Saya juga bisa menggumam bahwa keris juga terbagi lagi menjadi keris yang didapatkan langsung dari empu dan keris turunan. Jadi, tak ada yang namanya keris asli dan palsu. Hanya sebutan keris pertama atau turunan yang menjadi pembeda.

Jejeran keris aneka bentuk. - Dokumen Pribadi
Jejeran keris aneka bentuk. - Dokumen Pribadi
Pandangan saya lalu teralih kepada sketsa wajah yang begitu apik menghiasi dinding di atas keris-keris yang dipajang tadi. Saya memastikan bahwa goresan tersebut adalah karya Pak Raden. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun