Selain memiliki seorang anak, kebahagiaan seseorang juga akan muncul kala memiliki seorang cucu.
Bahkan, kerap muncul adagium kalau seseorang akan lebih sayang kepada cucunya daripada kepada anaknya sendiri. Kehadiran seorang cucu akan disambut dengan begitu spesial. Momen istimewa tersebut akan menjadi momen berharga bagi seseorang yang sedang menghabiskan masa tuanya. Â
Sayangnya, tak semua orang bisa menikmati kebahagiaan bersama sang cucu tercinta. Ada kalanya, sang anak belum dikaruniai seorang putra yang menjadi penerus keturunan mereka. Tak hanya itu, kadang hubungan seseorang dengan anak kurang begitu baik sehingga sang anak tak lagi menengok orang tuanya barang sedetik pun.
Ada pula kisah sang anak yang telah melakukan hubungan gelap dengan orang lain. Cucu yang lahir, yang semestinya menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan pun akhirnya berubah menjadi aib. Keberadaannya begitu dirahasiakan atau bahkan tidak diharapkan. Â Â
Kisah yang cukup banyak terjadi di masyarakat inilah yang kemudian diangkat dalam film pendek berjudul Kidung, produksi TVRI Stasiun Yogyakarta pada tahun 2012. Film ini seakan menjadi cerminan bagi banyak kisah kehidupan yang ada di seluruh pelosok negeri. Kisah yang sering kali tak mendapat tempat di masyarakat walau seharusnya justru dapat dijadikan pelajaran.
Diperankan oleh seniman Jogja, seperti Bondan Nusantara (maestro ketoprak Jogja) dan Kidung, film ini sangat apik menggambarkan pengajaran itu. Bondan Nusantara telah dikenal sebagai pelakon dan penulis naskah berbagai pertunjukan ketoprak di Yogyakarta.Â
Sementara Kidung, yang lebih dikenal dengan Plenthong adalah seniman cilik yang naik daun berkat suaranya yang menggelegar dan ceplas-ceplos dalam acara komedi Angkringan. Acara yang juga ditayangkan di TVRI Jogja. Keduanya bermain peran sebagai kakek dan cucu dalam film Kidung ini. Â
Sinopsis
Film dibuka dengan adegan Kidung dimarahi habis-habisan oleh Narsih, ibunya (diperankan Arum Puspitorini) karena bermain gawai di dalam kamar mandi. Ibu Kidung memang mendidik anaknya dengan cara yang cukup kasar. Selain memarahi, tak jarang sang ibu juga mencubit bahkan menjundu (menempeleng di kepala) anaknya.
Perlakuan kasar ini disebabkan Kidung adalah anak yang tak diharapkan. Walau tak diceritakan secara gamblang mengenai sebab musabab "kecelakaan" yang dialami Narsih, penonton pun sudah paham. Kidung sesungguhnya adalah anak yang tak diharapkan.
Narsih semakin tertekan akibat perilaku Kidung yang sudah dianggap "liar", tak tahu tata krama terutama dengan orang dewasa. Kondisi semakin sulit ketika ia hanya hidup berdua dengan sang anak di sebuah rumah petak kecil di Kota Jogja. Utangnya semakin menumpuk dan kerap ditagih para rentenir. Â