Saya pun lalu menuju ke arah Kota Banyumas dari Pasar Patikraja yang tak jauh dari Stasiun Notog. Sepanjang jalan, Sungai Serayu begitu elok walau warna kecoklatan cukup membuat ngilu mata. Sungai ini sangat besar, bahkan kalau boleh saya katakan lebih besar dibandingkan Sungai Brantas. Semakin mendekati Kota Banyumas, malah semakin jarang kendaraan yang saya temui. Maklum, jalan yang saya lalui hanyalah jalan kabupaten.
Keramaian baru terasa saat melintasi sebuah pertigaan. Di depan saya, tampak melintas beberapa kendaraan besar. Menurut rekan perjalanan saya, jalan ini yang menghubungkan Patikraja, Sukaraja-Purwokerto, dan Banyumas.Â
Ternyata, kami sudah tiba di Kota Banyumas ditandai dengan adanya sebuah jembatan besar. Dari atas jembatan, Sungai Serayu tampak gagah mengalir. Tak ada lagi satupun aktivitas pelayaran di sungai itu yang tampak di mata.
Pertanyaan itu tak segera terjawab. Justru keterkejutan yang saya dapat ketika melihat sebuah pasar yang kumuh, kusam, dan penuh dengan genangan air. Ini Pasar Banyumas. Apa yang dipaparkan di dalam buku yang saya baca memang nyata. Belum jauh saya menjelajah, saya sudah mendapat apa yang menarik perhatian saya. Kota ini memang tak lagi mengalami kejayaan.
Di sekitar alun-alun, masih tampak pula masjid agung di sebelah barat. Sama dengan kebanyakan alun-alun lain. Di sisi timur, juga berdiri rutan Banyumas yang masih ada mendampingi kejaksaan Banyumas. Jadi, di Kabupaten Banyumas sendiri, dua institusi ini ada di dua tempat, yakni Purwokerto dan Banyumas. Cukup unik.
Puas melepas penat sejenak di alun-alun, saya pun menuju Bekas Pendopo Bupati Banyumas yang ada di sisi utara. Kini, bangunan itu menjadi Kantor Kecamatan Banyumas. Sejak keputusan pemindahan ibu kota Kabupaten Banyumas ke Purwokerto yang penuh perdebatan pada 1937 terjadi, kini tempat itu tak lagi memiliki "singgasana".
Pemindahan ini juga menandakan perlahan tapi pasti Banyumas mulai kehilangan kejayaan. Walau, Pemerintah Kolonial masih ingin Banyumas tetap ramai dengan memindahkan beberapa fasilitas umum seperti rumah sakit dan sekolah dari Purwokerto ke Banyumas. Namun, jalur kereta api yang begitu ramai menuju Purwokerto akhirnya benar-benar mematikan Banyumas.
Tak jauh dari Bekas Pendopo Bupati ini, berdiri sebuah rumah tua yang merupakan rumah bekas Bupati terakhir Banyumas sebelum perpindahan ibu kota. Di tembok depan, tertulis nama R. A. Gandasoebrata.Â
Di masa pemerintahan sang pengganti, S.M. Gandasoebrata, perpindahan ibu kota itu terjadi. Secara bertahap kediaman Bupati Banyumas di Purwokerto dibangun. Rumah itu kini menjadi tempat penyimpanan beberapa benda penting peninggalan Banyumas dan dikenal sebagai Kepangeranan Banyumas. Â Â