Teknologi bisa menghidupkan. Teknologi pula yang akhirnya mematikan.
Itulah yang bisa saya tangkap dari tulisan skripsi Prima Nurahmi Mulyasari yang terhimpun dalam buku Kota-Kota di Jawa, Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial. Tulisan pembuka buku ini menyajikan secara singkat mengenai kematian Kota Banyumas, salah satu kota tua di Jawa Tengah.Â
Paparan Mbak Prima begitu urut dan menarik perhatian saya. Terlebih, alasan di balik kematian itu disebabkan oleh salah satu fenomena yang saya gemari, transportasi kereta api.
Sebelum saya membaca tulisannya, saya kerap bertanya. Mengapa orang lebih mengenal Purwokerto dibandingkan Banyumas? Padahal, tak ada istilah Kota Purwokerto dalam tata pemerintahan RI. Apa yang mendasari Banyumas tak dijadikan ibu kota Kabupaten Banyumas hingga kemudian kota ini seakan terlupakan? Saya pun mencoba menapaktilasi cerita ini meski sekadar ingin membandingkan apa saja yang ada di kedua tempat itu.
Saya menginap beberapa hari di Purwokerto. Aneka penginapan murah segera terlacak di aplikasi. Di hari pertama, saya berkeliling Kota Purwokerto sambil ditemani pengemudi ojek yang saya sewa selama beberapa hari. Kota ini cantik. Ia seperti kota-kota yang ramai pada umumnya. Ada pusat perbelanjaan, aneka kafe, taman-taman kota, bahkan ada salah satu kampus negeri dengan ribuan mahasiswanya. Satu hal saja yang cukup menggelitik, nama Banyumas masih membayangi kota ini.
Di Purwokerto bisa dibilang hampir semuanya ada. Stasiun kelas besar pun juga berdiri megah dengan ikon bawornya yang imut. Dalam tulisan yang saya baca itu, Purwokerto mendapat berkat dari pembukaan jalur kereta api Purwokerto-Soekaraja yang diresmikan oleh Serajoedal Stoomtran Maatschappij (SDS) pada 5 Desember 1896.Â
Saat itu, Purwokerto masih sebuah kabupaten kecil. Sangat berbeda dengan Banyumas sebagai ibu kota Karesidenan Banyumas yang sangat ramai berkat  transportasi air di Sungai Serayu.
Saya pun kemudian mencoba menelusuri jalur kereta api dari Stasiun Purwokerto menuju ke arah selatan. Jalur ini benar-benar ramai. Pembangunan jalur ganda masih dilakukan dengan masif. Sesekali, saya melihat beberapa kereta api harus mengalah untuk memberi jalan kepada kereta lain atau melambatkan kecepatannya. Sesuatu yang kini sering dikeluhkan oleh penumpang kereta akibat keterlambatan yang terjadi.
Jalur ini bisa dikatakan hampir sejajar dengan Sungai Logawa. Anak Sungai Serayu yang berhulu di Gunung Slamet ini benar-benar setia memagari jalur kereta api, terutama sepanjang jalur Prupuk-Kroya.Â
Puncak dari kebahagiaan saya dalam mengikuti jalur ini adalah jembatan yang berdiri megah di atas Sungai Logawa. Ia tampak cantik dengan latar perbukitan dan persawahan. Jalur kereta api pun berlanjut hingga saya menemukan Stasiun Notog.
Si ular besi akan melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Melewati dua buah terowongan, Notog dan Kebasen, membuatnya bisa menaklukan medan berat yang menghadang. Saya masih ingat Kereta Api Bengawan yang saya naiki dari Jogja miring dengan sudut mengerikan saat melintasinya. Dalam hati saya berpikir, berat sekali kalau ingin masuk ke Kota Purwokerto.