Erangan mesin minibus itu terdengar getir.
Pak Her, sopir minibus, lalu turun dan mengecek mesin. Air radiatornya ternyata panas. Petaka yang kutakutkan benar-benar terjadi. Menyadari hal ini, beberapa orang di dalam rombongan mulai panik karena senja pekat mulai menggelayut.
"Kukira kita akan bermalam di sini. Lihat, minibus tua ini tak bisa lagi berjalan. Kau harus segera ambil tindakan!" seru Pak Her sambil mencoba mengutak-atik mesin.
Aku menghela nafas. Berpikir sejenak dan mencoba tenang, kuraih ponsel yang menjadi tulang punggungku. Astaga, energinya hanya tersisa 27%. Ah, kebodohan apalagi yang sudah kubuat?
Kucoba hubungi penginapan terdekat. Mereka baru bisa menjemput kami sekitar 2 jam lebih. Kuminta bantuan lain. Penjaga hutan yang rumahnya telah kami lewati hanya bisa menjemput kami dengan motor dalam waktu 30 menit.
Mungkin inilah saat Tuhan sedang menyayangiku. Aku mencoba berpikir positif. Namun, kala kembali ke minibus, aku kaget saat ada salah satu rombongan yang tak ada di sana. Bangkunya nihil dan hanya menyisakan peralatan tempurnya yang lengkap.
"Mana Sir Fred?"
Anggota lain hanya bisa bertatapan. Aku yakin, di pikiran mereka sekarang hanya ada kata menyelematkan diri. Bukan orang lain.
"Mungkin ia sedang buang air di semak-semak. Dan kapan kita akan kembali?" tanya Lukman, seorang ayah muda yang datang beserta istri dan seorang anak laki-lakinya.
"Aku tak tahu. Aku sedang meminta bantuan."
Ia lalu mendekatiku dan tiba-tiba menarik kerah bajuku.