Walau akhirnya menanggapi dengan cukup antusias, namun mengingat waktu pembicaraan sudah kedaluwarsa, akhirnya saya malah menganggapnya "garing". Minat untuk membahas hal tersebut jadi hilang.
Perbedaan pemahaman tersebut terjadi akibat perbedaan gaya belajar dan berkomunikasi yang dimiliki oleh otak manusia. Saya sendiri lebih cenderung memiliki tipe pola belajar visual. Cenderung berbicara dengan tempo cepat dengan penekanan nada di akhir kata.
Bagi saya yang suka membaca, saya kurang bisa mengingat info yang diberikan secara lisan. Akibatnya, ketika teman saya yang berbicara dengan cukup panjang dengan menceritakan sesuatu, informasi yang saya terima kadang masuk di otak saya setengah-setengah.Â
Kala saya menanggapi apa yang teman saya bicarakan, akhirnya cukup melenceng jauh dari persepsi yang seharusnya terbentuk. Saya pun memiliki persepsi sendiri yang kerap bertolak belakang dengan topik yang mereka bahas. Omongan pun menjadi tidak nyambung. Saya pun akhirnya "dikacangin".
Malangnya, di dalam beberapa lingkar pertemanan, saya merupakan minoritas di antara mereka. Sebagian besar dari mereka merupakan gaya pembelajar auditori yang cukup mudah mengingat apa yang mereka dengar. Sebagian besar dari mereka gemar mempelajari bahasa asing dan mengungkapkanya dalam bentuk verbal.Â
Percakapan-percakapan yang mereka lakukan juga kerap menggunakan bahasa Inggris. Sementara, meski jikalau tidak merasa rendah diri kemampuan berbahasa asing saya lebih rendah, rasanya kok lebih suka menerima dan mengungkapkannya melalui sebuah tulisan. Meski, komunikasi verbal dengan bahasa Inggris sangatlah penting.
Namun, alasan dari ketidaknyambungan itu bisa dilihat dari pespektif gaya belajar adalah mengenai ketertarikan terhadap hal-hal baru di lingkungan sekitar. Sebagai pembelajar visual yang cenderung senang menggunakan indera penglihatan, saya sangat tertarik terhadap hal-hal baru di sekitar.
Kala melakukan perjalanan bersama atau duduk di sebuah warung kopi, saya selalu takjub dan berujar mengenai apa yang baru saya lihat di sekitar saya. Sementara, mereka lebih senang membahas hal-hal personal dan kebersamaan diantara kami.Â
Jadi, kala saya mengungkapkan ketakjuban mengenai sesuatu yang baru tersebut, perlakuan "dikacangin" pun akan saya terima. Apa yang menarik dari apa yang saya bicarakan?
Nah dari sini saya belajar bahwa dalam berkomunikasi tidaklah semudah apa yang kita pikirkan. Tidak semudah cepat baper kala ada teman yang mengacuhkan saya kala berbicara. Saya semakin belajar beberapa poin penting.
Pertama, saya harus belajar menyampaikan hal-hal yang penting saja. Tidak semua yang saya pikirkan bisa langsung diungkapkan. Seringnya mendapat perlakuan "dikacangin" membuat saya sadar akan hal itu. Think berfore you speak!