Selain pembelajaran di kelas, salah satu kegiatan yang cukup menjadi perhatian di sekolah adalah kegiatan siswa di kantin.
Kantin tak hanya menjadi tempat kegiatan siswa kala jam istirahat berlangsung. Interaksi antar siswa maupun pengelola kantin juga menjadi hal yang tak bisa dipisahkan.
Dengan demikian, kantin juga berfungsi sebagai salah satu pembentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tolak ukurnya bisa dilihat dari derajat kesehatan di dalam kantin tersebut.
Kantin pun berperan sebagai sentral dalam pembentukan karakter siswa. Bagaimana mereka membelanjakan uang dan memilih apa yang akan mereka konsumsi bisa dimulai dari kantin sekolah.
Pengelolaan kantin biasanya dilakukan secara otonom oleh sekolah. Pengelola kantin bisa berasal dari wali murid atau masyarakat sekitar sekolah yang menyediakan aneka makanan dan minuman siswa.
Pada beberapa sekolah, pengelolaan kantin diatur dalam sebuah Standar Operasional (SOP) dan perjanjian kontrak. Perjanjian kontrak ini biasanya berlaku dalam waktu satu tahun yang diperbaharui sesuai kebutuhan masing-masing.
Standar operasional kantin sendiri mengatur beberapa hal penting terkait kantin sehat. Kesepakatan yang tertuang dalam SOP ini seharusnya dapat dipenuhi oleh pengelola kantin.
Di samping kriteria umum seperti ventilasi yang cukup, penerangan, IPAL, dan tempat cuci tangan. Namun, hal yang tak kalah penting dalam pengelolaan kantin adalah mengenai makanan dan minuman yang dijual di dalam kantin.
Menurut Badan Pengawasn Obat dan Makanan (BPOM), setidaknya ada beberapa syarat umum makanan dan minuman yang dijual di kantin sekolah. Syarat tersebut antara lain tidak mengandung cemaran mikroba, pewarna, dan tekstur makanan yang dijual masih layak.
Untuk sekolah yang mengikuti kegiatan Adiwiyata (Pengertian; Adiwiyata merupakan nama program untuk pendidikan lingkungan hidup), ada beberapa syarat tambahan.
Tidak hanya dalam kegiatan Adiwiyata, dalam kegiatan Green School Festival acapkali masalah penggunaan plastik dan sejenisnya menjadi masalah yang cukup serius diperhatikan oleh dewan juri.
Lantas, apa yang menyebabkan penggunaan plastik menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dari kantin sekolah?
Tentunya, semua bermula dari kebiasaan. Sedari kecil, siswa memang lebih mengenal jajanan dari plastik dan sejensinya dibandingkan jajanan nonplastik semisal jajanan pasar.
Kebiasaan ini terbawa hingga ke sekolah dan terus berlanjut ketika kantin sekolah juga menjual jajanan tersebut. Saat ada upaya dari sekolah dan pengelola kantin untuk mengganti jajanan tersebut dengan jajanan lain yang lebih sehat, maka tidak serta merta upaya itu bisa berhasil.
Beberapa pedagang kantin seringkali mengeluh dengan tidak lakunya jajanan yang mereka jual. Sebagian siswa memilih untuk membeli jajanan di luar yang bagi mereka lebih menarik dibandingkan makanan di kantin.
Apalagi, dengan menjamurnya penjaja makanan di luar sekolah, maka upaya sporadis dengan melarang jajanan dari plastik ini tidak bisa berhasil.
Memang, bagi beberapa sekolah terutama sekolah menengah, upaya bebas sampah dalam kantin bisa dilakukan. Beberapa sekolah yang telah lolos seleksi Adiwiyata Nasional maupun Mandiri bisa menggunakan bahan lain untuk wadah makanan dan minuman yang dijual, semisal daun pisang atau siswa diharuskan membawa wadah sendiri.
Namun, hal ini cukup sulit dilakukan bagi siswa Sekolah Dasar yang secara pemikiran belum matang. Bagi mereka, jajanan berbungkus plastik adalah makanan favorit yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Apalagi, jajanan renyah yang mengandung banyak MSG adalah jajanan favorit bagi siswa-siswi. Melarang mereka secara langsung membeli makanan tersebut di dalam kantin sekolah dengan tergesa sama artinya membuat mereka mencari cara lain.
Membeli jajanan tersebut di sekitar sekolah kala pulang atau membawa sendiri dari rumah untuk dikonsumsi ketika istirahat adalah beberapa cara agar masih bisa mengonsmsi jajanan "enak" tersebut. Itu bukan rahasia umum.
Pada beberapa sekolah, upaya lain juga telah dilakukan. Bergandengan dengan pihak lain, seperti Puskesmas juga menjadi salah sau cara yang dirasa efektif agar masalah penggunana plastik di kantin sekolah ini bisa diatasi.
Sekolah seringkali mengundang Puskesmas hadir di sekolah untuk melakukan sosialisasi dan penyuluhan, baik bagi siswa maupun pengelola kantin agar bisa beralih dari jajanan yang berbasis plastik menuju jajanan nonplastik.
Pada beberapa kesempatan, Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan mengundang pengelola kantin sekolah dan guru koordinator kantin dalam acara penyuluhan kantin sehat.
Semisal, adanya duta kantin yang secara berkala melakukan imbauan di kelas maupun lapangan sekolah hingga kegiatan perlombaan kelas yang bebas dari sampah plastik makanan. Semua kegiatan tersebut bermuara kepada target nol sampah plastik di dalam kantin.
Sayangnya, kembali lagi kerap kali aneka kegiatan tersebut mengalami kegagalan. Fokus pada hasil yang diraih dan tidak melihat proses berkala membuat program yang apik tersebut terhenti atau bahkan berjalan di tempat.
Apalagi, jika sekolah hanya berfokus mendapat hasil yang memuaskan dan dituntut oleh waktu untuk bisa lolos dalam penilaian Adiwiyata. Tentu, perubahan pola pikir siswa tidak bisa terjadi begitu saja. Perlu upaya yang berkesinambungan agar masalah ini bisa dipecahkan.
Di dalam sekolah yang sedang melakukan kegiatan Adiwiyata sendiri, sebenarnya telah disusun kelompok kerja (pokja) dalam menangani berbagai isu. Salah satunya tentu isu mengenai kantin.
Dari beberapa analisis kegagalan pengurangan sampah yang dipaparkan oleh Tim Adiwiyata Mandiri dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang pernah saya ikuti, seringkali pokja tersebut tidak memetakan masalah penggunaan plastik ini dengan serius.
Justru, kebijakan langsung seperti pelarangan plastik makanan yang menjadi fokus. Padahal, di dalam penilaian adiwiyata, proses sekolah dalam melakukan praktik di dalam kegiatan nol sampah plastik di dalam kantin ini harus mengalami kenaikan dalam setiap tahap penilaian.
Misal, jika dalam penilaian tingkat kota/kabupaten, sekolah masih diperbolehkan mengurangi penggunaan plastik di kantin sebesar 10-20%. Lalu, pada penilaian tingkat provinsi harus ada kenaikan persentase tersebut hingga tingkat nasional.
Progres kenaikan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari penilaian. Pokja sebenarnya bisa menganalisis seberapa tingkat keberhasilan mereka dalam usaha ini. Tingkatan kelas mana yang dirasa belum berhasil menjalankan program ini.
Dalam rapat tim Adiwiyata, mereka bisa mendiskusikan hal ini secara berkala, baik dalam jangka waktu harian maupun mingguan. Mindset untuk mengubah pola konsumsi dengan cepat ini seringkali berujung pada kegagalan.
Banyak sekolah berpola pikir mengutamakan kegiatan perbaikan taman namun tidak menyentuh kantin dengan baik. Padahal, dalam komponen penilaian Adiwata, termuat pula kegiatan pembelajaran terintegrasi dengan kantin sehat yang harus dijadikan prioritas.
Kegitan ini sebenarnya menjadi nyawa sekolah dalam upaya pengurangan sampah plastik dari kantin. Penilai Adiwayata akan menilai terlebih dahulu file RPP, Silabus, dan Kurikulum Sekolah sebelum menyentuh hal fisik.
Mereka akan tahu seperti apa gambaran yang akan dilakukan oleh sekolah dalam upaya mengurangi penggunaan plastik di dalam kantin ini. Grand design sekolah mengatasi hal ini adalah kunci.
Dibalik semua usaha itu, kembali lagi kepada peran guru dan orang tua dalam sebagai sumber teladan bagi siswa untuk melakukan kegiatan nol plastik di dalam kantin.
Jangan harap program ini bisa berhasil kala orang tua lebih sering mengajak anak ke minimarket daripada mengenalkan jajanan pasar. Jangan harap pula kepada guru yang jarang memberikan contoh dan pelajaran di kelas kepada siswa-siswinya untuk peduli kepada masalah ini.
Barangkali, para guru bisa mencontoh Cikgu Upin dan Ipin kala mereka berdarma wisata di hutan dengan membawa belak salad sehat yang akhirnya disukai oleh murid-muridnya.
Semuanya bergantung dari niat dan kuat. Berulang dan butuh waktu yang cukup sebelum program mulia ini bisa berhasil, baik oleh sekolah yang ikut kegiatan Adiwiyata maupun yang tidak.
Sekian, Salam lestari.
***
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H