Sebagai warga Kota Malang yang memiliki hak suara pada pileg 2019 nanti, saya merasa bahwa satu suara saya sangat mahal. Lebih mahal dari harga tiket liburan ke Eropa atau Antartika.
Bukan bermaksud membandingkan dengan daerah lain, namun dengan adanya kasus korupsi massal yang dilakukan 41 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019, saya berpikir tak mau mengulang kesalahan yang sama. Memilih calon anggota legislatif yang ujung-ujungnya berakhir di tahanan KPK. Berompi oranye dengan senyum menungging bak tanpa rasa bersalah.
Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Pileg 2019 pada pertengahan September kemarin menjadi salah satu titik penting dalam tahapan pesta demokarsi yang berlangsung lima tahun sekali ini. Dari daftar nama-nama calon anggota legislatif yang dikeluarkan oleh KPU pusat dan KPUD, terpampang jelas siapa-siapa saja yang akan berkompetisi dalam pertarungan politik nanti.
Sebagian nama calon anggota legislatif yang saya amati, terutama untuk calon anggota DPRD kota merupakan wajah baru. Fresh dan belum pernah mengikuti konstelasi politik lima tahunan ini. Sebagian lainnya merupakan wajah lama yang lima tahun lalu pernah mencoba peruntungan dalam pertarungan serupa namun berlum berhasil masuk ke gedung DPRD. Dan, yang membuat miris, ternyata masih ada nama beberapa tersangka korupsi massal yang tampak pada DCT DPRD Kota Malang.
Berbagai latar belakang juga mewarnai para calon anggota legislatif ini. Untuk calon anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Malang Raya, muncul kembali wajah lama seperti mantan pembalap Moreno Soeprapton dari Partai Gerindra dan politisi PDIP Ahmad Basarah. Putra dari Bupati Malang Rendra Kresna, Kresna Dewanata Prosakh juga kembali maju setelah pada periode sebelumnya berhasil masuk ke senayan. Ia mewakili warga Malang Raya dari Partai Nasdem. Yang menarik, Diva Indonesia, Krisdayanti, juga akan maju sebagai caleg nomor urut 2 dari PDI Perjuangan.
Banyaknya calon anggota legislatif yang maju dalam konstentasi politik ini memang memberikan banyak pilihan bagi masyarakat. Meski, tidak semua dari calon anggota legislatif tersebut bisa diketahui rekam jejaknya. Yang jelas, mereka akan berlomba-lomba dengan semangat untuk meraih suara sebanyak-banyaknya agar bisa lolos ke senayan.
Namun, diantara keriuhan itu, terselip suatu kesunyian dari partai politik yang tidak mengajukan satupun nama calon anggota legislatif pada gelaran pileg 2019 mendatang. Baik untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kota.
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) merupakan satu-satunya partai tanpa caleg DPR RI di Dapil Malang Raya. Partai dengan nomor urut 20 ini tidak menyertakan satupun caleg dalam Daftar Calon Sementara (DCS) yang dikeluarkan oleh pemilu. Padahal, partai-partai lain mengajukan hingga 8 nama caleg yang akan bertarung.
Tak hanya di dalam DCS DPR RI, PKPI juga tak menyertakan satupun caleg untuk pemilihan anggota DPRD Kota Malang. Di semua dapil, tak ada satupun nama caleg dari PKPI. Selain PKPI, Partai Garuda adalah salah satu partai politik yang tak mengajukan satupun nama caleg untuk pileg DPRD Kota. Dalam DCT yang dikeluarkan oleh KPUD Kota Malang, kolom nama calon anggota dari dua partai ini nihil.
Padahal, dari salah satu sumber, beberapa partai tersebut telah mencoba untuk membuka pendaftaran calon anggota legislatif yang akan mewakili mereka. Partai Garuda Kota Malang bahkan secara terbuka membuka pendaftaran calon anggota legislatif untuk umum. Dikutip dari portal berita antara, partai baru ini akan membantu masyarakat yang berniat menjadi caleg. Nantinya, mereka akan membuatkan KTA partai. Tanpa mahar dan tak ditarik biaya sepeserpun. Sejak Januari 2018 kemarin, pendaftaran caleg Partai Garuda Kota Malang telah dibuka.
Pendaftar hanya perlu menyerahkan kelengkapan administrasi seperti KTP, ijazah, dan SKCK untuk diverifikasi. Persyaratan khusus pun hanya sebatasmemiliki rekam jejak baik  serta bisa melakukan kampanye komunikatif yang dananya berasal dari caleg itu sendiri. Walau telah membuka pendaftaran terbuka, nyatanya partai ini gagal mendaftarkan satupun caleg DPRD Kota Malang pada pileg 2019 nanti.
Fenomena parpol tanpa caleg pada pileg 2019 ini memang membuat miris. Pada pileg 2009 dan 2014 lalu, hampir tidak ada parpol tanpa caleg yang berkompetisi. Walaupun  jika diamati, untuk partai politik yang bisa dibilang kecil hanya menyertakan 1 hingga 3 caleg.
Tak hanya di Kota Malang, di daerah lain pun terdapat parpol yang tanpa caleg. Di Cilacap misalnya, ada tiga parpol yang absen pada pileg kali ini, yakni PKPI, Partai Hanura, dan yang cukup mengejutkan adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI yang dikenal memiliki semangat juang tinggi dalam rekrutmen caleg dengan aneka tahapan seleksi nyatanya juga gagal mengirimkan calegnya di Cilacap.
Muara permasalahan parpol tanpa caleg ini tentu berasal dari gagalnya sistem kaderisasi parpol. Sesuai dari apa yang dikemukakan oleh pengamat politik dari PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, pendaftaran caleg biasa dilakukan parpol pada masa injury time. Beberapa parpol pun akhirnya membuka pendaftaran caleg dari masyarakat umum seperti yang dilakukan Partai Garuda di Kota Malang.
Selain waktu mepet, gagalnya parpol mengajukan caleg adalah tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan. Kegagalan ini semakin terbuka lebar jika parpol hanya menyertakan satu caleg. Sesuai aturan, caleg tersebut harus merupakan perempuan. Akhirnya, kembali pada kebiasaan pileg-pileg sebelumnya, politik pragmatis yang mengutamakan caleg siap modal dan siap menang pun terjadi lagi. Pesohor dan kutu loncat masih mendominasi. Politik nontransaksional pun seakan menjadi utopia yang entah kapan akan terlaksana.
Di balik itu, sebenarnya ada satu hal yang perlu dibenahi lagi yakni mengenai proses verifikasi partai politik yang dilakukan. Proses yang pada perjalanannya seringkali menjadi kontroversi ini seharusnya juga bisa menjadi gerbang bagi partai politik dalam menentukan calegnya secara serius. Terstruktur, berjenjang, dan melalui proses panjang.
Jika dicermati, proses verifikasi parpol selama ini memang cukup ketat, terutama masalah gedung, keterwakilan perempuan, dan keanggotaan. Namun, jika ternyata ada parpol yang tanpa caleg tentu menimbulkan tanda tanya. Apa tak ada satupun anggota partai yang berani menjadi caleg dengan sistem kaderisasi yang matang? Apa tak ada niat dan itikad kuat dari parpol untuk benar-benar menyiapkan calegnya secara maksimal?
Memang, ada persentase khusus keanggotaan bagi parpol yang telah lolos verifikasi. Meski begitu, cukup aneh jika parpol-parpol tersebut tak mengajukan satupun caleg pada daerah dengan penduduk cukup banyak dan merupakan daerah perkotaan semisal Kota Malang. Dengan kemajuan masyarakat yang cukup tinggi, logikanya parpol tersebut lebih mudah menjangkau masyarakat luas. Dibandingkan misalnya dengan daerah terpencil yang masih bisa dimaklumi.
Maka, hanya sebagai saran, selain keanggotaan, dalam verifikasi parpol nanti juga perlu disertakan mekanisme perekrutan caleg yang jelas. KPU akan bisa menilai parpol mana yang serius dalam menyeleksi calegnya. Parpol pun akan memiliki banyak waktu sehingga ketika penetapan DPT tak ada satupun parpol yang nihil caleg.
Akhirnya, pileg 2019 kembali menjadi ajang adu kuat parpol-parpol besar dan meninggalkan parpol kecil yang menjadi penggembira. Padahal, dengan adanya parpol baru/kecil menjadi harapan juga bagi sebagian masyarakat untuk mewakilinya dalam lembaga legislatif.
***
Sumber:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H