Fenomena parpol tanpa caleg pada pileg 2019 ini memang membuat miris. Pada pileg 2009 dan 2014 lalu, hampir tidak ada parpol tanpa caleg yang berkompetisi. Walaupun  jika diamati, untuk partai politik yang bisa dibilang kecil hanya menyertakan 1 hingga 3 caleg.
Tak hanya di Kota Malang, di daerah lain pun terdapat parpol yang tanpa caleg. Di Cilacap misalnya, ada tiga parpol yang absen pada pileg kali ini, yakni PKPI, Partai Hanura, dan yang cukup mengejutkan adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI yang dikenal memiliki semangat juang tinggi dalam rekrutmen caleg dengan aneka tahapan seleksi nyatanya juga gagal mengirimkan calegnya di Cilacap.
Muara permasalahan parpol tanpa caleg ini tentu berasal dari gagalnya sistem kaderisasi parpol. Sesuai dari apa yang dikemukakan oleh pengamat politik dari PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, pendaftaran caleg biasa dilakukan parpol pada masa injury time. Beberapa parpol pun akhirnya membuka pendaftaran caleg dari masyarakat umum seperti yang dilakukan Partai Garuda di Kota Malang.
Selain waktu mepet, gagalnya parpol mengajukan caleg adalah tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan. Kegagalan ini semakin terbuka lebar jika parpol hanya menyertakan satu caleg. Sesuai aturan, caleg tersebut harus merupakan perempuan. Akhirnya, kembali pada kebiasaan pileg-pileg sebelumnya, politik pragmatis yang mengutamakan caleg siap modal dan siap menang pun terjadi lagi. Pesohor dan kutu loncat masih mendominasi. Politik nontransaksional pun seakan menjadi utopia yang entah kapan akan terlaksana.
Di balik itu, sebenarnya ada satu hal yang perlu dibenahi lagi yakni mengenai proses verifikasi partai politik yang dilakukan. Proses yang pada perjalanannya seringkali menjadi kontroversi ini seharusnya juga bisa menjadi gerbang bagi partai politik dalam menentukan calegnya secara serius. Terstruktur, berjenjang, dan melalui proses panjang.
Jika dicermati, proses verifikasi parpol selama ini memang cukup ketat, terutama masalah gedung, keterwakilan perempuan, dan keanggotaan. Namun, jika ternyata ada parpol yang tanpa caleg tentu menimbulkan tanda tanya. Apa tak ada satupun anggota partai yang berani menjadi caleg dengan sistem kaderisasi yang matang? Apa tak ada niat dan itikad kuat dari parpol untuk benar-benar menyiapkan calegnya secara maksimal?
Memang, ada persentase khusus keanggotaan bagi parpol yang telah lolos verifikasi. Meski begitu, cukup aneh jika parpol-parpol tersebut tak mengajukan satupun caleg pada daerah dengan penduduk cukup banyak dan merupakan daerah perkotaan semisal Kota Malang. Dengan kemajuan masyarakat yang cukup tinggi, logikanya parpol tersebut lebih mudah menjangkau masyarakat luas. Dibandingkan misalnya dengan daerah terpencil yang masih bisa dimaklumi.
Maka, hanya sebagai saran, selain keanggotaan, dalam verifikasi parpol nanti juga perlu disertakan mekanisme perekrutan caleg yang jelas. KPU akan bisa menilai parpol mana yang serius dalam menyeleksi calegnya. Parpol pun akan memiliki banyak waktu sehingga ketika penetapan DPT tak ada satupun parpol yang nihil caleg.
Akhirnya, pileg 2019 kembali menjadi ajang adu kuat parpol-parpol besar dan meninggalkan parpol kecil yang menjadi penggembira. Padahal, dengan adanya parpol baru/kecil menjadi harapan juga bagi sebagian masyarakat untuk mewakilinya dalam lembaga legislatif.
***
Sumber:Â