Setelah perdebatan panas itu, akhirnya aku mengalah.
Perdebatan siapa yang salah dan tak akan ada ujung pangkalnya. Iya, ini sedang puncak musim panas. Tapi aku merasa Kota Jogja tak  sepanas biasanya. Atau memang, sensor perasa suhu di indra perabaku  sudah rusak. Entahlah. Yang jelas, aku tak mau banyak berdebat. Hanya  ingin bersamamu sehari penuh ini saja.
Aku sempat ragu kala membawamu ke batas Kota Jogja. Memasuki tanah Sleman Sembada tempat bersemayamnya keagungan Merapi, tak ada satupun pemikiran untuk membawamu ke suatu tempat yang menurtku menyenangkan. Kupelankan laju  motor tua ini sembari berpikir ke mana kita akan berlabuh sementara waktu.
Jalanan yang kita lalui semakin sepi. Hanya beberapa orang bergerombol  menunggu pesanan cahkwe. Di Jalan yang baru kuketahui bernama Jambon itu tak ada ada yang spesial. Sejenak tersirat untuk memarkir saja motor ini  di warung kecil. Tapi, kala eratan tanganmu mencengkeram kuat ke pinggangku, bisakah aku melakukan itu?
Di tengah kegamangan dan asa yang semakin menipis, aku melihat kerlip benda yang bergerak nun jauh di sana. Ah, mungkin itu hanya fatamorgana. Tapi, semakin kudekati benda itu, kini tampak jelas obyek yang tak kuduga sebelumnya. Â Sebuah bianglala besar yang begitu cantik meluik diselingi lampu berpendar di tengah temaram senja yang elok.
Aku tak tahu apa ini yang disebut Pasar Malam. Bukan, ini bukan Pasar  Malam. Ataupun Royal kala Pabrik Gula memulai aktivitasnya. Tak kulihat pedagang jagung bakar atau cindera mata di sana. Tak tampak pula deru  genset yang seharusnya berlomba berdegup keras. Sekeras jantungku kala melihatmu masih saja bermuram durja. Baik, aku mengerti aku salah tak  memberimu kabar kedatanganku tempo hari. Tapi, sungguh tak elok engkau melakukannya. Atau terserahlah jika itu memang yang kau inginkan.
Bianglala itu terperangkap dalam ruangan yang sangat luas. Kata  terperangkap rasanya tak elok kuucapkan. Karena ia tak sepertiku yang terperangkap dalam egomu. Ia sangat menikmati tariannya dikelilingi  remang-remang lampu taman yang menyala.
Akhirnya kuputuskan untuk membawamu ke sini saja. Tak kupikirkan lagi  apakah engkau akan suka. Biarlah, itu sudah jadi kehendakmu. Setidaknya, aku sudah berusaha. Kuparkir motor di lapangan yang juga sepi. Rupanya Engkau  masih bergeming dan tetap mendekapku.Â
Kumohon, lepaskan aku. Berilah aku sebuah kesempatan untuk memperbaiki  kesalahan. Aku tak ingin liburan musim panas ini menjadi berantakan begini. Karena kesalahan sepele yang sesungguhnya tak pantas untuk  diperdebatkan.
Aku menunggumu untuk bergerak. Tak apa jika sampai waktu yang tak kuketahui. Gerakanmu sudah memberi tanda kau memberi maaf.
Aku bisa merasakan gerakan tanganmu. Bergerak tak lagi mendekapku erat.  Sejenak kemudian, apa yang kuharapkan pun terwujud. Kau turun dari motor. Kuikuti saja gerakan tubuhmu. Lalu, segera kurapikan benda itu dan perlahan mendekatimu. Kuberikan  tangan kananku. Sekali lagi, kuharap engkau mau menerima uluran tangaku  itu. Dan, kaupun menerimanya.