Perlu perjuangan ekstra untuk menyewa sepeda motor di Yogyakarta kala musim liburan.
Apalagi, saya hanya bisa menggunakan sepeda motor manual. Mendapatkan satu buah motor sewa manual adalah kenikmatan tiada tara. Kenikmatan ini akan semakin paripurna kala saya bisa menuntaskan tur ke candi-candi di Kabupaten Sleman. Tinggal satu candi lagi yang belum saya jelajahi. Sebuah candi yang semakin terkucil dari pergaulan tempat wisata di sekitarnya. Candi Gebang.
Saya menyusun strategi. Membaca petunjuk arah menuju candi ini tidaklah mudah. Daerah-daerah di sekitar Condongcatur memang sering saya lalui. Namun, saya masih menyisakan spot hitam di daerah seputaran Stadion Maguwoharjo.Â
Melihat peta di G-map, saya merasakan kengerian bak melihat labirin yang entah di mana ujungnya. Pemukiman yang cukup ramai dengan jalan yang hampir mirip membuat nyali saya sedikit ciut.Â
Walau memiliki pemikiran buruk akan tersesat dan tak tahu arah pulang, tekad saya sudah bulat. Pantang berpulang sebelum menemukan candi itu. Tekad kuat saya ini menyala lantaran baru saja melihat vlog perjalanan keluarga bule yang rela mencari jalan menuju candi ini meski dalam cuaca hujan deras.
Saya memulai penjelajahan dari arah petigaan SMK Negeri 1 Depok/SMK Tajem. Meski ada banyak jalan kecil yang bisa saya lalui, saya memilih mencari jalan yang memuat papan petunjuk arah menuju Stadion Maguwoharjo.
Stadion ini saya jadikan patokan lantaran di dalam peta, letak candi ini berada persis di belakang stadion. Dengan masih semangat, saya menyusuri Jalan Raya Tajem. Jika tak membaca papan nama yang terpasang di bangunan seputaran jalan itu, mungkin saya masih berpikir berada di Kota Yogyakarta. Padahal, batas antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman sudah saya tinggalkan jauh.
Pemukiman di daerah ini sangat ramai. Kos-kosan, laundry, dan segala macam pernak-pernik fotokopian sangat meriah. Berpadu dengan warga lokal yang bersepeda, para mahasiswa berseliweran bak laron yang tak henti-hentinya membunyikan klakson. Berebut ingin jadi yang pertama, khas suasana jalanan perkotaan sangat terasa.
Di suatu pertigaan, sepeda motor saya tepikan. Ingin memastikan kembali bahwa saya berada di jalan yang benar, tiba-tiba saya terkejut mendapat sebuah kenyataan mencengangkan.Â
Saya berada di daerah setan. Ya, saya memang sedang berada di sebuah keramaian bernama Pasar Setan. Kontan, momen istimewa ini tak saya sia-siakan. Sebuah jepretan pun saya ambil dengan cukup mantap.
Berwarna biru, terlihat gagah berpadu dengan warna langit. Sayang, dugaan saya salah. Meski berada tepat di belakang stadion markas tim PSS Sleman ini, saya harus memutar jalan. Melwati sebuah wisata baru, Jogja Bay Pirates, saya hanya bisa menatap nanar tempat wisata itu. Tak terjangkau oleh saya yang berkantong tipis.
Hening. Hanya suara jangkrik khas musim kemarau yang saya dengar. Namun, pintu masuk candi terbuka lebar. Ternyata, ada seorang satpam yang duduk manis di sekitar loket masuk. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan saya untuk masuk. Saya bertanya tentang parkir motor yang segera dijawab oleh satpam tersebut arah ke taman candi.Â
Ketika kembali bertanya apakah perlu mengisi buku tamu yang segera dijawab oleh gelengan kepala. Tak ada pula tiket masuk. Baik, hasrat saya sudah terpendam lama. Saya sudah tak sabar.
Selepas memarkir motor, saya lalu menuju pelataran candi. Khas candi gaya Jawa Tengahan, candi bebadan chubby ini tak terlalu besar. Sepintas, saya teringat dengan Candi Ijo yang berada di atas bukit itu. Namun, candi ini hanya sendiri.
Sama halnya dengan candi-candi lain yang bercorak Hindu, saya menemukan ruang lingga yoni di bagian dalam candi. Tapi, hanya sebuah lingga yang masih tersisa. Tak tampak yoni yang tertancap ke dalam lingga seperti pada candi-candi lain.Â
Keanehan candi semakin paripurna kala tak ada anak tangga yang menghubungkan kaki candi dengan bagian selasar candi. Anak tangga yang biasanya memudahkan saya untuk lebih mengeksplorasi bagian selasar itu diduga dibuat dari bahan yang mudah rapuh. Tak seperti candi lain yang begitu kokoh dan sesekali berhias ukel yang khas. Sangat minimalis. Itulah kesan yang saya tangkap selepas menjejaki candi ini.
Memotret candi dari berbagai sisi menjadi aktivitas yang juga tak kalah menyenangkan. Jalan berpaving yang membelah taman bisa menjadi spot berfoto yang sangat elok.
Sumber: Â (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H