Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menikmati Keheningan Candi Gebang yang Terlindas Zaman

30 Agustus 2018   10:15 Diperbarui: 30 Agustus 2018   19:12 1927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaki candi yang polos tanpa ukiran. Minimalis. - Dokumen pribadi.

Berwarna biru, terlihat gagah berpadu dengan warna langit. Sayang, dugaan saya salah. Meski berada tepat di belakang stadion markas tim PSS Sleman ini, saya harus memutar jalan. Melwati sebuah wisata baru, Jogja Bay Pirates, saya hanya bisa menatap nanar tempat wisata itu. Tak terjangkau oleh saya yang berkantong tipis.

Stadion Maguwoharjo. Candi yang saya tuju berada di balik stadion itu.- Dokumen Pribadi.
Stadion Maguwoharjo. Candi yang saya tuju berada di balik stadion itu.- Dokumen Pribadi.
Tapi, saya masih mencoba semangat. Kapan lagi mengenal lebih dekat kehidupan warga di sini. Kapan lagi bisa menemukan pola pemukiman khas perkotaan dan pedesaan yang sangat kontras. Berpadu rapi, memagari kekokohan Gunung Merapi dari jauh.

Sleman sembada. Aglomerasi Kota Yogyakarta. Pemukiman padat semakin mendesak lahan perkebunan. - Dokumen Pribadi
Sleman sembada. Aglomerasi Kota Yogyakarta. Pemukiman padat semakin mendesak lahan perkebunan. - Dokumen Pribadi
Cukup lama juga saya bisa menemukan kepastian dari pencarian panjang ini. Di tengah secerca keputusasaan itu, saya menemukan plang Candi Gebang di sebuah turunan tajam. Plang ini mengarahkan saya menuju jalan kampung kecil. Masih berjarak sekitar 1,3 km lagi, saya harus melalui jalan itu.

Papan penunjuk jalan. - Dokumen Pribadi.
Papan penunjuk jalan. - Dokumen Pribadi.
Semakin jauh menyusuri jalan itu, semakin sedikit rumah penduduk yang saya temui. Bahkan,pemandangan mata hanya menyisakan kebun-kebun warga yang tampak kering. Sesekali, wanita paruh baya dengan menenteng alat-alat pertanian berlalu lalang. Di antaranya bahkan tidak memakai alas kaki sama sekali. Sungguh, sangat kontras dengan emak-emak yang mengendarai motor dengan kecepatan penuh. Di lokasi yang sebenarnya saling berdempetan.

Suasana khas pedesaan. Padahal, beberapa meter dari lokasi ini penuh dengan kafe, warung, dan fotokipoian. - Dokumen pribadi.
Suasana khas pedesaan. Padahal, beberapa meter dari lokasi ini penuh dengan kafe, warung, dan fotokipoian. - Dokumen pribadi.
Setelah melewati beberapa tanjakan tajam, akhirnya saya menemukan keberadaan candi itu. pagar hijau yang saya yakini merupakan pagar pembatas kompleks candi tampak di depan mata. Saya sangat familiar dengan pagar hijau ini yang sering saya temui di candi-candi lain. Dengan semangat tinggi, saya pun mendekati kompleks bangunan itu.

Hening. Hanya suara jangkrik khas musim kemarau yang saya dengar. Namun, pintu masuk candi terbuka lebar. Ternyata, ada seorang satpam yang duduk manis di sekitar loket masuk. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan saya untuk masuk. Saya bertanya tentang parkir motor yang segera dijawab oleh satpam tersebut arah ke taman candi. 

Ketika kembali bertanya apakah perlu mengisi buku tamu yang segera dijawab oleh gelengan kepala. Tak ada pula tiket masuk. Baik, hasrat saya sudah terpendam lama. Saya sudah tak sabar.

Selepas memarkir motor, saya lalu menuju pelataran candi. Khas candi gaya Jawa Tengahan, candi bebadan chubby ini tak terlalu besar. Sepintas, saya teringat dengan Candi Ijo yang berada di atas bukit itu. Namun, candi ini hanya sendiri.

Candi Gebang dengan latar belakang atap Stadion Maguwoharjo. - Dokumen pribadi.
Candi Gebang dengan latar belakang atap Stadion Maguwoharjo. - Dokumen pribadi.
Arca Ganesha segera tampak di depan mata kala saya menapaki candi dari arah timur. Di bagian utara, Arca Nandiswaralah yang tampak. Saya menduga, candi ini bersifat Siwaistik (beraliran Hindu Siwa). Tapi, tak banyak ukiran di kaki candi membuat candi ini masih menjadi misteri.

Sama halnya dengan candi-candi lain yang bercorak Hindu, saya menemukan ruang lingga yoni di bagian dalam candi. Tapi, hanya sebuah lingga yang masih tersisa. Tak tampak yoni yang tertancap ke dalam lingga seperti pada candi-candi lain. 

Keanehan candi semakin paripurna kala tak ada anak tangga yang menghubungkan kaki candi dengan bagian selasar candi. Anak tangga yang biasanya memudahkan saya untuk lebih mengeksplorasi bagian selasar itu diduga dibuat dari bahan yang mudah rapuh. Tak seperti candi lain yang begitu kokoh dan sesekali berhias ukel yang khas. Sangat minimalis. Itulah kesan yang saya tangkap selepas menjejaki candi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun