Di depan pintu masuk ruang kuliah, kepala saya terasa berat.
Memasuki ruangan, penderitaan saya rasanya malah tambah parah. Rasa mual tak tertahankan dan ingin muntah menjadikan saya tak bisa ceria seperti teman-teman seusia saya. Saya pun memilih duduk di pojokan dan mulai menyandarkan kepala.
Satu rekan wanita tiba-tiba menghampiri. Sambil memandang saya, ia bertanya,
"Kemarin sampai jam berapa?"
Saya hanya bisa memberikan satu jari telunjuk yang berarti jam satu malam. Saya memang baru selesai mengerjakan Laporan Praktikum yang ditulis tangan lepas tengah malam. Ia lantas menggeleng dan memberikan sebuah minyak kayu putih. Botol kecil yang ia sodorkan lantas saya terima. Mengeloskan minyak hangat di tengkuk sedikit meredakan ketegangan. Tapi, itu hanya berlangsung sementara.
Satu mahasiswi pun ditunjuk maju. Ia menerangkan mengenai kandungan bahan alam senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman adas. Tanaman yang memiliki bunga berbentuk payung majemuk ini mengandung anisaldehida. Senyawa ini memberi efek peristaltik pada saluran cerna sehingga gas di dalam usus bisa dikeluarkan. Menurut rekan mahasiswi tadi, selain anisaldehida, beberapa senyawa organik di dalam adas juga memiliki efek karminatif, yakni meredakan kolik atau rasa nyeri pada perut. Ah, mungkin saya harus mencari tanaman ini. Nyeri perut saya seakan memuncak.
Sambil tetap memegangi perut dan mencoba semaksimal mungkin berkonsentrasi, saya mencatat ada beberapa alkaloid, saponin, fitosterol, flobatonin, asam hidroksi kaborksilat dan beberapa kandungan gula di dalam tanaman itu. Di tengah pejelasan, sang dosen menyela dengan menanyakan efek dari kandungan zat-zat tersebut di dalam tubuh. Sang mahasiswi mencoba menjawab namun kurang tepat. Sang dosen lalu melempar pertanyaan ke seluruh ruangan dan tak ada yang bisa menjawab. Tiba-tiba, sebuah inisiatif muncul dari diri agar menjawab pertanyaan tersebut. Menghindari amukan sang dosen, saya hanya coba asal menjawab sambil terbata,
"Efeknya memperlancar pencernaan dan meningkatkan selera makan, Pak!"
Ah, sungguh jawaban yang cukup sesuai dengan kondisi saya. Tertatih dalam nestapa penderitaan gangguan pencernaan dan sedang tidak selera makan. Roti selai yang saya makan tadi pagi segera saya muntahkan beberapa saat kemudian.
"Tepat. Itulah manfaat yang sangat berharga dari kayu ules. Tanaman perdu dengan banyak senyawa metabolit sekunder," sang dosen tak jadi marah.
Kini, seorang rekan mahasiswa yang mendapat kesempatan untuk menerangkan tanaman selanjutnya. Ia memilih cengkeh, tanaman yang banyak digunakan sebagai obat dan rokok. Pemaparan mengenai kandungan eugenol dalam cengkeh saya simak dengan seksama kembali meski rasa sakit dan begah di perut seakan mencapai puncak. Perut saya semakin melilit. Rasa mual yang diikuti ingin muntah seakan tak tertahankan.
Menurut rekan mahasiswa, eugenol di dalam cengkeh dapat bertindak sebagai antibakteri, antiseptik, dan anastesi lokal. Beberapa strain bakteri akan sukar hidup jika terdapat eugenol dalam jumlah cukup, seperti E. coli dan Salmonella parathypi. Dua bakteri yang menyebabkan masalah pencernaan, semisal diare dan tipus. Mendengar penjelasan ini, saya segera tersadar dengan pola makan yang tidak sehat dan jajan sembarangan. Ditambah, sering tidur larut yang membuat bakteri-bakteri itu bisa dengan nyamannya berada di perut saya. Cengkeh! Saya kembali menulis tanaman yang akan saya cari jika pulang kuliah nanti.
Penjelasan pun berlanjut kepada jahe dan daun mint. Keduanya memiliki kandungan beberapa bahan alam yang cukup banyak. Jahe sendiri mengandung flavonoid, fenol, dan terpenoid. Efeknya, bisa mengurangi mual dan nyeri. Sungguh sangat tepat jika saya menemukannya saat itu. Mual dan nyeri, seakan kombinasi dua penderitaan yang saya hadapi. Tubuh saya semakin lemas dan hanya bisa mendengar samar penjelasan rekan mahasiswa yang kini menguraikan dengan seksama efek anastesi pada daun mint.
Efek yang dihasilkan mint bisa menghilangkan rasa sakit pada perut. Pereda mual dan kram dengan cara merelaksasi otot polos pada rongga perut. Aroma mentolnya membuat saluran nafas menjadi sehat. Tak hanya saluran pencernaan, saluran pernafasan pun bisa sehat karena melonggarkan konstruksi bronkus. Daun yang banyak digunakan ini juga meringankan heart burn melalui sifat antipasmodik. Tubuh pun menjadi rileks karena menginduksi rasa tenang. Lagi-lagi, saya seakan ingin mengunyah juga daun mint ini. Kondisi tubuh yang tidak baik membuat saya tidak tenang.
Tak lama, rekan wanita saya pun kembali. Ia lantas memberikan sebuah sachet produk minuman. Saya membaca sekilas, Tolak Angin. Ah, inilah yang saya butuhkan saat itu. Saya membaca kembali kandungan bahan alam yang ada di dalamnya. Adas, kayu ules, cengkeh, jahe, daun mint, dan ditambah obat dari segala obat, madu. Saya tak lagi berpikir untuk mencari tanaman tersebut satu per satu.
Setelah satu sachet Tolak Angin berhasil saya minum, reaksi dalam tubuh pun seakan berpacu dengan laju reaksi yang ditulis oleh dosen saya di papan tulis. Reaksi yang menuju ke arah positif. Nyeri amat sangat di perut saya hilang. Saya tak lagi mual meski diselingi sendawa. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Badan saya menjadi lebih hangat dan rileks. Saya lebih bisa berkonsentrasi menyimak perkuliahan yang kini memasuki materi tentang purifikasi bahan alam tadi.
Menurut sang dosen, bahan-bahan alam  jika digunakan harus melewati purifikasi (pemurnian) terlebih dahulu. Proses ini dapat memperkuat efek farmokologi dari bahan-bahan tersebut. Jadi, efek positif yang dapat memelihara kesehatan dapat ditingkatkan. Efek samping pun dapat ditekan. Saya lalu kembali membaca bekas bungkus Tolak Angin yang ternyata juga melakukan kegiatan itu untuk produknya. Sebuah langkah pintar yang sangat diandalkan dan membantu sekali dalam kondisi sulit ketika badan sedang tidak fit terindikasi masuk angin.
Uji khasiat diperlukan untuk mengetahui khasiat bahan alam tersebut di dalam tubuh. Dan, Tolak Angin juga telah melakukan dua uji tersebut. Dengan alat canggih dan didukung ahli di beberapa kampus ternama, uji ini telah berstandar ISO.
Sumber:
Muhammad, Abu, dkk. 2010. Kamus Pintar Obat Herbal. Yogyakarta: Penerbit Nu Med.
Safryadi, dkk. 2017. Kajian Etnobotani Melalui Pemanfaatan Tanaman Obat Di Desa Rema Kecamatan Bukit Tusam Kabupaten Aceh Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Biotik Tahun 2017. Universitas Gunung Leuser, Aceh Tenggara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H