"Ngajinya libur dulu," kata Abah Hasan, guru ngaji saya.
"Sampai kapan, Bah?" seorang rekan yang kala itu duduk bangku SMP Kelas 1 bertanya.
"Nanti tunggu kabar ya. Kalian sudah tahu tanda merah di depan itu kan? Pulang saja sana. Jangan main jauh-jauh!" sahut sang guru ngaji. Beliau lantas menutup rapat tempat mengaji dan rumahnya yang bersebelahan. Saya lantas pulang. Di suatu senja, September 1998.
Jujur, kalau saya bercerita kejadian ini lagi rasanya masih merinding. Usia saya saat itu sekitar 8 tahun dan masih duduk di bangku kelas 3 SD. Saya tak tahu sebab muasal gonjang-ganjing yang bermula dari Jakarta itu bisa sampai ke daerah saya, Malang. Breaking news mengenai penembakan mahasiswa di Jakarta hingga pembakaran beberapa pusat perbelanjaan menyelingi acara Tralala-trilili yang dibawakan penyanyi cilik Agnes Monica. Bermula dari itu, huru-hara langsung merembet ke seluruh Indonesia, tak terkecuali ke tanah kelahiran saya.
Masa-masa Emas yang Runtuh
Ayah saya memiliki usaha konveksi topi yang berjaya pada kurun 1990 hingga 1997. Saat itu, saya masih ingat ada sekitar 20 orang karyawan yang bekerja untuk ayah saya. Pesanan topi dari para langganan bahkan dari NTB, Papua, dan Timtim (Timor Leste). Tak hanya itu, usaha ayah saya juga mendominasi beberapa pangsa pasar sekolah dan perusahaan di Malang Raya.
Bagai anak seorang konglomerat, saya sungguh menikmati masa-masa kejayaan di akhir orde baru. Setiap pekan, bisa dipastikan saya akan membeli mainan baru di Gajah Mada Plaza, pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang kala itu. Apalagi, sebelum adik saya lahir tahun 1997, saya merupakan anak tunggal. Bak lagu Doraemon, apa yang saya mau akan sering dikabulkan.
Namun, petaka terjadi pada pertengahan 1997. Kebetulan, adik saya baru berusia beberapa bulan. Di suatu malam, saya diminta untuk membeli minyak goreng oleh ibu saya. Biasanya, dari uang yang diberikan untuk minyak goreng itu, saya masih bisa membeli permen karet Yosan sebagai "upah". Di malam itu, jangankan membeli permen karet.Â
Untuk membeli satu liter minyak goreng saja tidak cukup. Saya lupa berapa nominal pastinya, yang jelas sekitar 2000 hingga 3000 rupiah. Selepas malam itu, perlahan tapi pasti harga-harga mulai naik. Kenaikan harga paling saya ingat adalah harga permen yang semula 25 rupiah menjadi 100 rupiah hanya dalam beberapa bulan.
Usaha ayah saya pun kolaps. Satu per satu karyawan dirumahkan. Beberapa mesin jahit dan alat sablon pun terpaksa dijual. Tak ada lagi pemesan dari luar pulau. Puncaknya, seluruh karyawan ayah saya dirumahkan pada pertengahan 1998.Â
Jangankan membeli mainan di Gajah Mada Plaza, untuk membeli susu dengan hadiah buku cerita saja orang tua saya sudah tak sanggup. Sebagai anak kecil seusia belum sepuluh tahun, mendapat guncangan ekonomi semacam itu membuat saya kaget dan cukup frustasi. Nilai-nilai pelajaran saya menurun. Tidak ada lagi peringkat 3 besar di dalam kelas seperti pada awal saya masuk SD di tahun 1996.Â