Pagi itu mentari masih belum menampakkan sinarnya secara utuh.
Kesibukan luar biasa telah tampak di dapur rumah saya di pagi buta itu. Ibu, begitu saya memanggil wanita utama dalam hidup saya mulai sibuk menyiapkan beberapa macam lauk yang merupakan kesukaan saya.Â
Sambal goreng tempe basah dan oseng buncis telah siap dan mulai memenuhi kotak makan yang tersusun rapi di meja. Tak biasanya kami bangun dan siap sepagi buta itu. Bukan hari yang biasa memang lantaran hari itu kami akan berlibur bersama keluarga besar ke sebuah tempat yang cukup khas di daerah Malang. Dempok, sebuah danau tempat pemancingan ikan menjadi tujuan kami.
Walaupun tempat wisata ini bukanlah obyek yang bisa dibilang "wah", namun tak lantas menyurutkan semangat kami untuk berlibur sekaligus merajut silaturahmi. Ya, berlibur adalah cara keluarga besar kami untuk tetap menjalin tali silaturahmi sekaligus mendekatkan dan menambah kehangatan keluarga. Acara rutin ini seakan menjadi nyawa yang menyatukan keluarga besar kami setelah kepergian kakek dan nenek beberapa tahun silam.
Di rumah Bude tertua, kami semua berkumpul. Kebetulan, jarak rumah kami cukup berdekatan. Riuh rendah sepupu yang masih kecil membuat suasana rumah Bude yang biasanya hening menjadi menggelegar. Aneka cuapan dan celetuk lucu saling bersahut-sahutan. Gelegar itu berpadu dengan suara gemuruh para ibu yang menyiapkan hasil masakan kreasi masing-masing. Tampak pula bara api yang masih menyala dari masakan yang belum matang. Ketika melihat pemandangan itu, saya hanya bisa menerka masakan apa saja gerangan yang akan tersaji di makan siang nanti.
Setelah semua siap, kamipun berangkat. Bukan mobil mewah yang luas dengan bau pewangi semerbak. Namun, dua buah mikrolet yang kami sewa secara khusus untuk mengantarkan kami ke tujuan. Selain menekan biaya perjalanan, kami memutuskan menggunakan transportasi ini karena jarak dari rumah yang tak terlampau jauh. Apalagi, dua sopir mikrolet yang kami sewa adalah tetangga dekat kami. Mereka sering mengeluh pendapatannya berkurang akibat gencarnya ekspansi transportasi online.
Sebelum menuju ke tempat pemacingan ikan, kami terlebih dahulu mampir ke sebuah sumber air bernama Sumber Maron. Obyek wisata ini memang terkenal menjadi tempat berkumpulnya kehangatan keluarga dari berbagai penjuru Malang dan sekitarnya.Â
Tawa sepupu yang masih kecil langsung menyeruak diantara gemericik air yang membahana. Kami para tetua, begitu bisa saya sebut, hanya bisa mengawasi sambil mencuri waktu bermain air yang nampak jernih. Sesekali, gorengan yang tak lagi hangat menjadi teman kami untuk mengisi perut barang sepotong.
Mungkin, tak ada alasan lain yang bisa saya utarakan selain karena tempat ini menyuguhkan banyak kesahajaan. Gazebo yang apa adanya, warung makan berdinding gubuk di sekiling gazebo, hingga bau ikan hangat yang menyeruak.
Kamipun menyantap hidangan utama berupa aneka ikan seperti mujair, wader, dan nila setelah semuanya selesai dibakar. Ikan-ikan tersebut kami pilih dari penjual ikan yang berada di sekeliling danau.Â