[caption id="attachment_290105" align="alignleft" width="438" caption="(http://randomstory.org/)"][/caption] Hampir setiap orang memiliki phobia. Entah itu phobia ketinggian, phobia hewan, atau bahkan phobia dengan barang sepele. Phobia memang tidak menyenangkan. Saya sangat tidak suka jika ada seseorang yang dengan sengaja menakut-nakuti orang dengan phobianya, terutama untuk komersial seperti acara televisi.
Phobia memang mengganggu. Terutama jika dalam kehidupan kita harus bersentuhan dengan sumber phobia. Salah satu phobia yang cukup menggangu adalah agyrophobia. Phobia ini merupakan ketakutan berlebihan terhadap meyeberang jalan. Disadari atau tidak, hampir setiap hari kita melakukan hal ini. Aktivitas sehari-hari kita, baik bekerja, sekolah,dll pasti ada kegiatan meyeberang jalan.
Pengidap agyrophobia sering merasa tersiksa dengan phobianya. Mereka biasanya terkena penyakit ini karena trauma dengan sesuatu yang buruk di jalan raya. Serempetan mobil/ motor, ditabrak hingga cacat, melihat orang meregang nyawa akibat tabrakan, melihat pengendara motor gepeng di bawah kolong truk, motor/mobilnya menabrak orang, dan sederetan hal buruk lainnya.
Saya termasuk pengidap agyrophobia. Sebenarnya, sejak kecil saya sudah tidak takut menyeberang jalan. Rumah saya yang dekat jalan raya yang ramai membuat saya terbisa dengan kegiatan menyeberang jalan. Namun, peristiwa di tahun 2008 mengubah hidup saya dalam sekejap. Hingga saat ini phobia menyeberang jalan sulit saya sembuhkan dan makin menjadi-jadi.
Hari itu hari jumat, pertengahan November 2008. Di luar hujan turun dengan deras. Sejak sore hari saya ingin sekali memfotokopi soal-soal yang akan saya bagikan kepada teman-teman dari guru saya untuk belajar menghadapi try out. Sebenarnya saya agak ragu ingin keluar karena hujan turun begitu deras. Sambil menunggu hujan, saya belajar sedikit di kamar. Rupanya hingga lepas maghrib hujan belum reda namun tidak begitu deras. Saya berangkat pergi ke tempat fotokopi di seberang jalan. Semua tampak baik-baik saja hingga saya tiba di pinggir jalan yang ada zebra crossnya.
Jalan tak begitu ramai, namun sesekali ada pengendara yang melintas. Suatu ketika, saya melihat momen yang pas untuk menyeberang. Sudah saya pastikan jalan benar-benar sepi dan aman untuk melintas. Belum sampai di ujung jalan lain, saya merasa seperti melayang. Gelap.
Saya membuka mata remang-remang. Di situ sudah ada ibu saya dan keluarga saya. Saya masih bingung berada di mana. Butuh beberapa lama untuk mengerti kondisi yang saya alami. Ternyata saya ada di ambulans dan sedang berada dalam perjalanan rumah sakit. Badan terasa tak bisa digerakkan dan kepala terasa sangat pusing. Lama sekali waktu berjalan. Hingga tibalah di Unit Gawat Darurat RS. Saya segera dicek oleh seorang dokter dan koasnya. Dokter itu tak berkata banyak. Lalu dia dan koasnya meninggalkan saya. saya sendirian. Di sebelah saya tampak seorang (mungkin) pencuri yang terkena timah panas. Dia meraung-raung sekuat tenaga sambil tangannya terborgol. Tak berapa lama ada seorang anak dengan kepala bocor menagis tak hentinya. Dokter yang memeriksa saya tadi segera merawat sang anak. Lalu ada seorang kakek yang sepertinya koma dengan badan sudah tidak karuan lagi, persis di sebelah saya. Sebelum diberikan perawatan lebih lanjut rupanya Tuhan berkehendak lain. Beliau meninggal. Demikian pula sang anak yang kepalanya bocor tadi, yang sempat menangis kencang juga sama nasibnya. Meninggal.
Di pikiran saya cuma satu, mungkin sebentar lagi jadwal saya (dipanggil Tuhan). Kepala saya semakin pusing dan mau muntah. Badan semakin linu dan mati rasa. Samar-samar terdengar jeritan di ruangan yang mirip aula itu. Tak berapa lama sang dokter tadi menghampiri saya sambil mengambil sampel darah saya dan memasangkan selang infus. Kata beliau “Sudah, kamu gak apa-apa, kuning kok”. Saya baru sadar bahwa saya termasuk pasien bertipe kuning. Saat ikut PMR dulu memang saya tahu ada pasien hijau (luka ringan), pasien kuning (luka sedang), dan pasien merah (luka berat) yang harus segera ditolong. Fiuh.. lega. Meski kepala masih pusing, tapi setidaknya masih ada harapan hidup. Ada harapan untuk memperbaiki kesalahan dan berbuat baik.
Lalu saya dironsen dan diberi obat jalan. Keesokan paginya saya pulang. Perlu waktu satu bulan untuk benar-benar pulih. Ada sedikit gegar otak dan retak di tulang selangkang saya. Berkat support dari berbagai pihak, saya bisa pulih sediakala. Saya baru tahu kalau hari itu saya ditabrak pengendara motor yang tidak menyalakan lampu. Ditambah kondisi jalan yang tidak ada lampu penerangan karena sedang mati. Padahal itu merupakan jalan utama penghubung kota saya dengan kota tetangga.
Namun rupanya saya belum pulih benar. Sejak saat itu saya menjadi takut untuk menyeberang. Takut melihat sepeda motor berjalan. Ya, saya sangat takut dengan namanya sepeda motor. Benda satu ini ada di mana-mana. Di sekolah pun, ketika ada teman yang mengklakson motornya untuk sekedar menyapa saya, saya bahkan berteriak dengan keras. Memang lebay. Tapi saya benar-benar takut.
Ketakutan saya semakin menjadi-jadi tatkala harus menyeberang di jalan yang ramai. Saya harus ikut menyeberang dengan orang lain. Bahkan jika menyeberang bersama teman, saya secara refleks memegang tagan teman sambil menutup mata.
Kondisi jalan raya di Indonesia semakin membuat saya phobia menyeberang jalan. Pengendara yang ugal-ugalan adalah monster bagi saya. Sempat pula saya punya pikiran andai saja saya hidup di negara yang tidak banyak pengendara motor/mobilnya seperti di Singapura mungkin saya akan bahagia. Menyeberang dengan aman, naik kendaraan umum dengan aman, dan bisa melakukan kegiatan dengan nyaman.
Tapi hal itu segera saya tepis. Suka atau tidak suka saya ditakdirkan hidup di Indonesia dengan masalah jalan rayanya. Perlahan saya mulai menghilangkan phobia saya. Puncaknya ketika saya bisa mengendarai motor saat kuliah. Itu juga merupakan hal paling sulit karena sebelumnya saya benar-benar membenci motor.
Mengendarai motor pun saya sangat terbatas hanya ke kampus dan perpustakaan umum. Itupun saya harus jalan memutar untuk menghindari spot-spot yang mengharuskan saya menyeberang jalan. Bahkan saya sempat memutar jalan sejauh 4 km agar tidak menyeberang dan mencari perempatan untuk pergi ke rumah teman. Tujuannya hanya satu, agar tidak menyeberang. Jikapun kondisinya mengharuskan benar-benar menyeberang saya menunggu pengendara motor lain yang akan menyeberang, nebeng. Pernah di suatu kondisi saya mendatangi pos polisi untuk meminta Pak Polisi menyeberangkan jalan. Pak Polisi pun geleng-geleng kepala melihat saya hampir setengah jam tidak segera menyeberang jalan.
Terkadang jika saya pergi ke suatu tempat yang belum saya datangi saya memastikan dahulu spot-spot penyeberangannya melalui peta. Jika menurut saya aman, saya akan pergi ke sana. Jika tidak saya tidak akan pernah ke sana meski sangat mendesak. Yang paling lucu, ketika saya menyeberang tanpa motor dan sendirian, saya membawa palang bertuliskan tanda stop hasil meminjam di sebuah SD. Jika tak membawa tanda itu, tangan saya angkat ke atas sambil berteriak keras “Tolong berhenti”. Entah didengar atau tidak. Sungguh sulitnya menyeberang jalan bagi saya.
Saya berharap suatu saat phobia ini bisa hilang sambil selalu berdoa ketik akan menyeberang jalan. Dan, yang paling saya harap semoga jalan raya benar-benar aman. Jalan raya yang tidak terasa seperti pintu neraka bagi saya. Saya tahu takdir di tangan tuhan, tapi phobia menyeberang jalan benar-benar menyiksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H