Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Devide et Money Politic di Kampungku

13 April 2014   16:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:44 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempo hari saya pernah menayangkan cerita tentang supporter money politic saat perhitungan suara di TPS tempat saya menyoblos. Kalau anda membaca, akan tampak keriuhan suara “harga uang” yang diteriakkan saat suara sah untuk caleg tertentu.

Nah rupanya, praktik politik uang ini berbuntut panjang. Uniknya, bukan pelaporan kecurangan kepada bawaslu atau sanksi kepada caleg dan timses namun pertikaian antar warga sendiri. pertikaian ini dipicu ketidakpatuhan warga yang mendapat politik uang untuk menyoblos caleg yang bersangkutan. Akibatnya, timbulah gesekan antar tetangga yang semakin menjadi-jadi.

Semua diawali dari seorang caleg perempuan dari Partai Demokrat yang membagikan baju muslimah untuk pengajian RT. Pembagian ini dilakukan sebulan sebelum pencoblosan. Selain membagikan baju, caleg yang merupakan petahana ini juga membagikan tanda gambar partainya beserta paparan kinerja Partai Demokrat selama 5 tahun terakhir ini. Seorang ibu yang mengakomodasi caleg ini (sebut saja bu A) sukses mengumpulkan sekitar 40 ibu-ibu pengajian.

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Ibu-ibu ini telah menerima baju muslimah dari seorang caleg Partai Demokrat saat acara pengajian"][/caption]

Masalah mulai muncul ketika ada dua caleg baru, satu dari PDI-Perjuangan (sebut saja bu T) dan satunya dari Hanura (sebut saja Bu I) juga memasuki wilayah pengajian tadi. Kedua caleg tersebut juga caleg perempuan. Caleg dari PDI-Perjuangan merupakan warga di RT sebelah dan sudah dikenal baik. Caleg ini mendata warga yang mendukungnya dan meminta fotokopi KTP sebagai bukti dukungan. Jika ada warga yang bersedia melakukan hal tersebut dan pasti akan memilihnya maka akan diberikan uang sebesar 25 ribu rupiah, beberapa jam sebelum pencoblosan (pukul 05.00). Cara serupa juga dilakukan caleg dari Hanura yang juga mendata warga melalui fotokopi KTP. Namun, uang yang diberikan lebih besar, yakni 100 ribu rupiah dan itu setelah pencoblosan. Setelah suara yang didapat sesuai dengan jumlah KTP yang didata.

Waktu pencoblosan pun dimulai. Warga pun berduyun-duyun ke TPS. Bahkan ada seorang ibu yang rela mengantri mulai pagi karena ingin membayar hutang setelah diberi baju muslimah. Ada juga satu keluarga yang rela antri dari pagi agar segera menerima uang 100 ribu rupiah. Politik uang ini memang berhasil menaikkan partisipasi pemilih. Dari 427 DPT yang terdaftar, sebanyak 380 menggunakan hak suaranya. padahal biasanya tak sampai 300 orang menggunakan hak suaranya.

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Di TPS ini terindikasi 80% suara sah berasal dari politik uang"]

Di TPS ini terindikasi 80% suara sah berasal dari politik uang
Di TPS ini terindikasi 80% suara sah berasal dari politik uang
[/caption]



Perhitungan suara yang dinantikan pun dimulai. Suara-suara supporter penerima politik uang saling bersahut-sahutan. Nah yang menjadi permasalahan ternyata caleg dari Demokrat hanya meraup 15 suara, jauh dari ekspektasi. Sedangkan caleg dari PDIP dan Hanura mendapat suara yang sesuai ekspektasi. Pertikaian pun tak terelakkan. Tim sukses caleg dari Demokrat tadi mencak-mencak. Terus memaki warga yang membelot caleg yang lain. Warga juga sebelas dua belas, saling menuding mana yang membelot dan mana yang setia. Suasana kampung pun menjadi panas dan tak nyaman.

Kasus ini sebenarnya sudah ada yang melaporkan ke Panwaslu, namun tak tahu kelanjutannya. Digelar pencoblosan ulang sepertinya bukanlah keputusan terbaik. Sepertinya ketegasan dari pihak yang berwenang yang menjadi hal utama. Praktik ini tak hanya terjadi di kampung saya. Di kampung tetangga malah lebih parah. Hingga ada seorang warga yang menyatakan perang dan dendam tujuh turunan kepada tetangga sebelahnya gara-gara membelot ke caleg lain.


Perhatikan suara-suara supporter money politic yang bersahut-sahutan.

Pemilu legislatif rupanya masih menyisakan cerita tak enak. Memang semua terjadi karena keinginan kuat menduduki sebuah jabatan tanpa kemauan melakukannya dengan hal yang baik. Pun demikian dengan para penerima politik uang yang begitu rakus menerima sogokan tanpa mau melihat konsekuensi yang terjadi. Jika sudah seperti ini, perpecahan warga akan semakin menganga, dan bisakah partai politik kembali menyatukannya seperti sedia kala?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun