Saya hanya bisa tersenyum saat membaca berita di portal berita lokal Kota Malang.
Bukan apa-apa, karena memang realita di lapangan. Isi dari berita tersebut adalah bahwa seperempat lebih, tepatnya 16 dari 57 Kelurahan di Kota Malang kumuh. Melihat banyaknya kelurahan yang mendapatkategori kumuh ini sebenarnya cukup disayangkan. Kota Malang pada 2014 kemarin menerima piala adipura kencana untuk kategori kota besar. Lantas, mengapa masih juga kumuh?
Banyak faktor yang menyebabkan kekumuhan kota ini masih bisa terjadi. Selain banyaknya perumahan tak layak huni, kegiatan masyarakat yang kurang peduli terhadap kebersihan menjadi salah satu alasannya. Perumahan tak layak huni menyebar di lima kecamatan. Konsentrasi terbanyak berada di Kelurahan Kotalama dan Mergosono, keduanya berada di Kecamatan Kedungkandang. Dua kelurahan ini berdekatan dengan pusat ekonomi, yakni pasar besar malang yang juga turut menyebabkan banyaknya aktivitas warga sehingga banyak pemukiman kurang layak dibangun. Dua kelurahan ini juga berada di bantaran Sungai Brantas. Banyak rumah yang dibangun saling berdekatan, tanpa memerhatikan aspek-aspek lingkungan, apalagi memperhatikan masalah kesehatan seperti ketersediaan MCK.
Kelurahan tempat tinggal saya sendiri, yakni Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, juga masuk kategori kumuh. Padahal beberapa bulan lalu, posyandu di RW saya tinggal berkompetisi dalam lomba posyandu tingkat nasional. Sebuah ironi memang, tapi itulah faktanya. Di dekat rumah saya mengalir sebuah sungai kecil yang arah alirannya menuju Sungai Metro (salah satu sungai besar yang melintasi Kota Malang). Di bantaran sungai kecil tersebut banyak berdiri bangunan liar yang awalnya diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi, seperti bengkel, salon, dan pabrik tahu. Lama-lama, penghuni bangunan liar tersebut menggunakan tempat usahanya sebagai tempat tinggal. Mereka membuang limbah di sungai yang berada di belakang bangunan mereka dan juga menggunakan air sungai untuk kegiatan cuci dan kakus. Untuk kegiatan minum, mereka masih menggunakan air PDAM. Meskipun begitu, tinggal di daerah seperti itu tidaklah sehat. Apalagi jika hujan turun, seringkali air masuk ke rumah mereka.
[caption id="attachment_318373" align="aligncenter" width="420" caption="Salah satu WC yang digunakan bersama"]
[caption id="attachment_318374" align="aligncenter" width="420" caption="Salah satu rumah di dekat sungai"]
Yang lebih unik, kelurahan tempat tinggal Walikota Malang, Abah Anton, yakni Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru juga masuk dalam kategori kumuh. Di Kecamatan Lowokwaru sendiri, yang merupakan kawasan pendidikan, selain Kelurahan Tlogomas, juga terdapat dua kelurahan lain yang masuk kategori kumuh, yakni Dinoyo dan Tulusrejo. Di Kecamatan Klojen, yang merupakan pusat pemerintahan, ada empat kelurahan yang masuk kategori kumuh, yakni Oro-oro Dowo, Kasin, Bareng, dan Kidul Dalem. Keempat kelurahan ini juga dilintasi oleh Sungai Brantas.
Seperti halnya di DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya, pemukiman kumuh ini menjadi masalah tersendiri. Banyak penghuni pemukiman kumuh telah berada di daerah tersebut selama bertahun-tahun dan telah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Meskipun cukup sulit, upaya untuk menanggulani dampak pemukiman kumuh juga harus terus dilakukan, terutama oleh pemkot. Menurut Walikota Malang, Abah Anton, pihak pemkot sudah memberikan bantuan berupa bedah rumah. Namun tentunya, program dari pemkot ini juga harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk mau hidup bersih dan sehat. Kegiatan membangun pemukiman di sekitar bantaran sungai dan tidak memeprhatikan aspek lingkungan juga harus dihentikan. Semuanya demi kebaikan bersama, agar masyarakat bisa hidup lebih sehat dan terhindar dari berbagai penyakit yang timbul akibat hidup di daerah kumuh. Semoga saja, masalah ini bisa segera teratasi.
Gambar: Dokumen Pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI