Kita umumnya mungkin lebih tertarik membaca, mendengar, atau melihat kisah orang-orang yang besar, berprestasi, atau terkenal. Sejarah umumnya membahas sepak terjang dan perjalanan hidup orang-orang besar seperti raja, bangsawan, ilmuwan, dan orang-orang penting lainnya. Jarang sejarah membahas orang-orang kecil, kecuali jika orang kecil tersebut mempunyai prestasi besar yang layak dikenang. Sampai sekarang pun yang mendominasi pemberitaan di media massa adalah sepak terjang orang-orang penting, para pembuat berita, seperti artis, politisi, olahragawan, pejabat negara, dan para pesohor lain.
Namun, sebagai orang kecil sederhana yang sering menjumpai sesama orang-orang kecil sejak masa kecil, saya juga merasa tertarik dengan kehidupan orang-orang kecil. Saya tertarik dengan pengalaman mereka menjalani hidup dengan “petualangannya” masing-masing. Saya sebenarnya ingin mengetahui lebih banyak perjalanan hidup pedagang kaki lima atau penjual jasa, seperti jasa perbaikan payung, yang sebagian di antaranya ada yang setiap menempuh perjalanan berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk menawarkan jasa atau dagangannya ke tempat yang berbeda-beda. Yang lain berjalan kaki begitu jauh sambil membawa guci-guci yang saya kira amat berat. Mungkin Anda pun pernah melihatnya.
Lebih lanjut, saya sebenarnya juga mengharapkan mereka menulis sendiri tentang kisah hidup mereka. Saya ingin membaca sudut pandang orang-orang seperti itu tentang dunia di sekitar mereka dan kehidupan mereka sendiri. Harapan ini agaknya sulit menjadi kenyataan. Sementara tulisan yang dibuat oleh wartawan, penulis, penerjemah, dokter atau insinyur bukan merupakan hal yang aneh, jarang kita menjumpai tulisan yang dibuat oleh misalnya pedagang asongan, tukang parkir, atau penjual jamu. Untungnya kadang-kadang media massa memuaskan ketertarikan saya ini dengan memuat berita atau artikel tentang orang-orang kecil ini yang ditulis oleh wartawan atau apa yang disebut sebagai “jurnalis rakyat”.
Bagi saya pelajaran yang terutama didapat dari orang-orang kecil yang tangguh seperti ini adalah betapa uang bisa lebih bernilai, dipandang dari suatu sisi, di tangan mereka. Bagi sebagian dari kita mungkin uang 50 ribu rupiah sudah hampir tidak mencukupi bagi kita. Mungkin uang sebanyak itu hanya cukup untuk transportasi dan konsumsi makanan untuk sehari saja. Uang tiga juta rupiah kini jauh dari mencukupi untuk membeli ponsel cerdas bersimbolkan apel bekas digigit. Padahal ponsel cerdas yang mahal nian itu bukan tidak mungkin ketinggalan zaman dalam waktu setahun-dua tahun mengingat perkembangan teknologi yang begitu cepat. Di pihak lain, orang-orang seperti tukang becak “mengajarkan” kepada kita secara tidak langsung cara menghemat uang Rp 50.000 sehingga bisa dipakai untuk membiayai kehidupan sehari-hari, jika kita mau mengenal sedikit kehidupan mereka baik dengan membaca kisah hidup mereka atau berinteraksi dengan mereka secara langsung lewat obrolan ringan.
Pelajaran lain berkaitan dengan ketangguhan mereka dalam menjalani hidup dengan “modal” yang lebih terbatas itu. Jika mereka bisa bertahan hidup, walaupun mungkin dengan susah payah, dalam keadaan yang relatif lebih terbatas secara ekonomi seperti itu, seharusnya orang-orang yang perekonomiannyalebih baik bisa bertahan pula.
Selanjutnya, pelajaran lain berkaitan dengan kemungkinan bahwa mereka lebih mudah mendapatkan rasa senang. Bagi sebagian dari mereka mungkin mendapatkan penghasilan 50 ribu perak pada suatu hari sudah merasa senang atau bahkan bahagia terutama jika penghasilan itu lebih besar daripada penghasilan rata-ratanya. Sementara itu, sebagian orang lain sudah melancarkan protes, mogok kerja atau setidaknya mengeluh jika penghasilan bulanan mereka yang nilainya jutaan rupiah dianggap kurang memadai untuk keperluan sehari-hari. Menikmati daging sapi mungkin sudah membuat mereka gembira karena memang jarang menikmatinya, sementara itu orang-orang berekonomi kelas atas mungkin merasa ada yang kurang jika tidak jajan di restoran atau rumah makan hampir setiap minggu. Memang sebenarnya, seperti yang dikatakan orang-orang bijaksana, kebahagiaan dan kesenangan itu sesungguhnya berasal dari dalam diri sendiri.
Terakhir, melihat kehidupan orang-orang yang kecil secara ekonomi ini seharusnya mendorong orang-orang yang lebih kaya untuk lebih bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H