"Democracy (and, indeed, all society) is run by an unseen engineer.” –Anatole France
Era demokrasi Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Path dan Instagram. Beragam isu menjadi terdengar dan akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat karena disuarakan melalui media sosial dan didengungkan oleh media massa. Beberapa kali pula isu nasional di Indonesia menjadi tren dunia karena massifnya sebuah isu dipantulkan dari satu akun ke akun yang lain. Bahkan Presiden Jokowi juga berutang besar kepada netizen atas jasa memopulerkan dirinya di media sosial.
Kita tentu masih ingat betapa pada hari-hari pemilihan presiden yang lalu, menulis sebuah status dukungan di media sosial untuk salah satu calon bukanlah hal yang mudah. Bahkan hingga hari ini sebuah status Facebook atau tweet yang berbau politik masih cukup sensitif dan dapat memancing berbagai bantahan dan komentar. Inilah era demokrasi dimana para propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial membuka ruang yang lebih luas untuk menyetir isu dan opini di masyarakat, serta memantau perkembangannya dengan lebih terukur.
Pada dasarnya, propagandis ada di hampir seluruh masyarakat, bekerja dalam diam. Tujuan mereka adalah mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, sekaligus membuat pihak lawan mereka dibenci. Propagandis hadir tidak hanya di masa pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah, mereka juga bekerja pada isu-isu sosial di masa damai. Tanpa disadari kita sering terjebak untuk sukarela membantu mereka, mulai dari sekadar memberi jempol di status Facebook hingga ikut menyebarkan pesan propaganda kepada jejaring sosial kita.
Beberapa waktu lalu misalnya, foto Presiden Jokowi di Raja Ampat, Papua, dituding palsu oleh salah seorang pengguna media sosial. Teman dan pengikut akun tersebut pun ramai-ramai memantulkan tudingan dan pesan yang sama, tanpa lebih dulu mencari tahu kebenarannya. Menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, saat ini di media sosial mulai bermunculan rekayasa foto ataupun informasi yang tidak jelas kebenaran dan sumbernya. Tanpa disadari, banyak pengguna media sosial yang dengan suka rela terseret ke dalam pusaran arus propaganda 2.0.
Teknik propaganda
Pada masa Perang Dunia II, pemerintah AS mendirikan the Institute of Propaganda Analysis yang bertugas mendidik warganya mengenai propaganda. Institut tersebut mengeluarkan tujuh teknik yang biasa digunakan dalam propaganda. Hampir 80 tahun berlalu sejak institut tersebut akhirnya dibubarkan, namun ketujuh tekniknya masih kita jumpai hingga saat ini. Meski dengan keberadaan media baru, teknik tersebut sudah termodifikasi.
Propaganda adalah strategi dan teknik persuasi untuk mengubah opini, perilaku, dan sikap masyarakat dengan menggunakan kebohongan, tipu muslihat, dan kebencian. Sejarah membuktikan bahwa propaganda adalah senjata yang paling ampuh untuk memenangkan perang (Harold Lasswell, 1972) dan opini publik di era modern. Ketujuh teknik propaganda adalah: name calling, glittering generality, transfer device, testimonials, plain folks, card stacking, dan bandwagon.
Name calling adalah teknik memberikan julukan buruk untuk sebuah ide, organisasi ataupun seseorang yang menjadi pihak lawan, untuk membuat publik kemudian membencinya. Glittering generality adalah teknik penggunaan kata-kata indah dan mengesankan, untuk menunjukkan kehebatan dan kebajikan sebuah pihak, organisasi, ataupun ide, untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan publik. Transfer device digunakan saat menghubungkan aksi propagandis dengan tujuan mulia yang lebih besar, misalnya untuk demokrasi, nasionalisme, dan kesejahteraan bangsa. Teknik testimonial menggunakan suara orang penting dan terkenal untuk memberikan kesan dan dukungan kepada ide propagandis. Plain folks adalah teknik dimana propagandis membenarkan ide dan aksinya atas dasar untuk kepentingan orang banyak. Teknik card stacking menggunakan sebagian dari fakta yang ada kemudian dipelintir agar meyakinkan masyarakat. Dan terakhir, bandwagon adalah teknik agar masyarakat mendukung ide dan bergabung dalam sebuah aksi semata-mata karena orang lain juga turut dalam aksi tersebut.
Propaganda di media sosial
Pada media sosial hari ini, ketujuh teknik tersebut dapat dijumpai mulai dari kampanye politik, kampanye pemasaran dan brand hingga kampanye sosial dan kesehatan. Teknik name calling dan glittering generality tidak banyak berubah. Cukup mengejutkan bahkan karena julukan buruk untuk pihak lawan yang banyak digunakan di era Perang Dunia II seperti ‘Yahudi’, ‘Komunis’ , ‘Liberal’, ‘Ateis’, dan ‘Radikal’ ternyata masih muncul dalam propaganda di media baru. Teknik glittering generality muncul dengan penggunaan tujuan mulia demi ‘Demokrasi’, Patriotisme’, ‘Kesehatan’, dan ‘Cinta’. Teknik transfer device juga masih terdapat dan dipermudah dengan keberadaan media sosial seperti Facebook. Seorang propagandis, misalnya, membuat akun khusus di Facebook dan mengajak massa untuk bergabung untuk aksi tertentu di group/fanpage atau menulis pesan dan menyebarkan pesan. Propagandis biasanya menyebarkan pesan untuk meligitimasi tujuan mereka sebagai bagian dari aksi masyarakat, organisasi, atau bahkan misi kebangsaan.