Saat sebuah gerakan masih berkutat dalam pertukaran dan peperangan konsep/wacana, pihak yang mahir berwacana serta merta akan siap menyatakan dirinya bergabung.
Namun disaat sebuah gerakan mulai melakukan peperangan sesungguhnya, maka dengan sendirinya filter alam itu mulai beraksi. Siapa yang bergabung karena nyaman dengan citra, dan siapa yang terpelanting karena tidak kuat dengan serangan pihak lain.
Anehnya, para pencari citra kemudian mencap bahwa gerakan tersebut sudah tidak lagi sejalan, padahal dirinyalah yang sebenarnya tidak kuat mendapat serangan, siksaan, cercaan dan kadang fitnah.
Maka tidak heran, ada sebagian pihak ingin selalu melakukan nostaligia masa lampau sebelum tahun 1999.
Mereka ingin suasana nyaman mengaji dengan menyimpan sandal, kemudian pulang kerumah menjadi pribadi eksklusif, tetangga tak ada yang mengenal dan kemashlahatan dirinya dalam lingkungan juga nihil. Kehadirannya tidak berpengaruh banyak; hadirnya tidak menggenapkan, ketiadaannya pun tidak membuat ganjil.
Dulu,
Menginjak-injak foto tokoh yang dianggap sumber kebathilan adalah kebanggaan tersendiri.
Bila kena pentung polisi, seakan menjadi mujahid yang luar biasa.
Saat membakar foto tokoh kebathilan seakan telah berhasil, dan kebathilan telah musnah.
Itulah generasi simbolis, yang memang diciptakan sebagai pelaku simbolis dan nyaman dalam wacana simbolis.
Anehnya, saat kini sebagian besar arus berusaha terus berupaya untuk masuk dalam dakwah di pusat kekuasaan, sebagian dari aktivis simbolis lebih memilih menghujat dan lebih percaya kepada media, dibanding terhadap saudara.