Genap mencapai usia 66 seharusnya menjadi pertanda bahwa negeri ini punya kemampuan untuk bertahan. Bertahan dari krisis di setiap rezim, dan tetap kokoh sebagai bangsa. Tapi, usia 66 ini juga memunculkan tanda-tanda serius; bahwa pertahanan itu ringkih dan kian hari kian rapuh. Banyak yang optimis, tapi kian hari pesimisme semakin luas menyebar. Perasaan kalut itu muncul karena ketimpangan; yang kaya semakin kaya, yang miskin tak kunjung sejahtera. Kemiskinan punya ukuran yang rigid, tapi kekayaan hampir tidak punya batasan. Bangsa ini -di setiap rezim- punya masalah serius dengan distribusi sumber daya yang tidak merata. Tak heran, Kemerdekaan hampir-hampir kehilangan maknanya. Secara fisik dia hadir dalam perayaan-perayaan formal dan upacara reguler. Tapi maknanya sudah lama hilang. Kita ingat janji kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan, tapi sepenuhnya sadar bahwa realisasi janji itu masih jauh panggang dari api. Tulisan ini hadir sebagai refleksi dari makna yang hilang itu. Bahwa era transisi ternyata mandek, justru pada periode kritisnya. Sistem demokrasi yang dipilih untuk mewujudkan janji kemerdekaan, bergerak berlawanan arah dengan kesejahteraan. Realitas penegakan hukum -tajam ke atas dan tumpul ke bawah- menguatkan keyakinan mereka yang pesimis; bahwa kemerdekaan hanya angan-angan dan sebaliknya, penjajahan -dengan aktor dan bentuknya yang lain- nyata-nyata ada. Minus Keadilan dan Kesejahteraan Demokrasi di Indonesia, dalam pandangan Jeffrey Winters sesungguhnya berkembang sangat pesat. Keran politik terbuka lancar, membuka debat publik dan kompetisi yang legal, antara kekuatan politik yang satu dengan yang lain. Pemilihan pejabat publik langsung oleh rakyat, tidak hanya dibatasi sampai di pusat tetapi menyebar sampai ke tingkat distrik/Kabupaten. Kritik -sesuatu yang mahal di era Orde Baru- menemukan ruang geraknya yang leluasa. Namun ironisnya, kata Winters, perkembangan demokrasi ini tidak diimbangi dengan progresifitas penegakan hukum. Kebebasan politik dimaknai semata-mata sebagai bentuk liberalisasi, bahkan cenderung bersifat Machiavellian; liar dan tak punya etika. Makna Demokrasi direduksi menjadi kebebasan berkompetisi tanpa harus taat asas. Maraknya politik transaksional menjadi bukti bahwa hukum yang adil tidak punya tempat dalam rimba politik. Lebih dari itu, kasus hukum justru menjadi alat transaksi yang efektif sebagai posisi tawar; diungkap ketika bersitegang, diendapkan ketika tercapai kesepakatan. Jangan heran, penyelesaikan kasus Century, Lapindo, Gayus Tambunan, dan lainnya tidak kunjung selesai dan -cenderung tidak ingin diselesaikan. Selain harus dibarengi dengan penegakan hukum, demokrasi juga diharapkan menjadi jembatan mencapai kesejahteraan. Penghubungnya adalah distribusi sumber daya yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat. Dalam konsepsi Almond dan Powell (1961) tentang output sistem politik, salah satu aktivitas yang harus dilakukan oleh negara adalah distribusi sumber daya (Distributive Performance). Definisi ini merujuk pada pengertian apa saja sumber daya yang didistribusikan oleh negara dan kepada siapa. Tapi, kemerdekaan tidak menjamin pemerataan sumber daya. Dengan kekayaan alam berlimpah, distribusinya justru macet dan bocor di level elit. Pemerintah cenderung tidak serius memberikan solusi strategis memberantas kemiskinan, seperti halnya ketidakseriusan untuk membatasi kekayaan elit-elit yang dekat dengan kekuasaan. Efeknya, angka kemiskinan urung turun, tapi harta orang kaya semakin banyak. Situasi ini -dalam beberapa aspeknya- disebut Tery Lynn Kall sebagai paradoks keberlimpahan (paradox of plenty); negeri berlimpah kekayaan, tapi mayoritas rakyatnya miskin. Mengelola Optimisme Dalam tulisannya di Majalah Time edisi September 2008, Michael Schuman -seperti dikutip Rizal Sukma- melontarkan pertanyaan retorik : What's Holding Indonesia's Back? Kenapa Indonesia tidak bisa maju? Padahal, kata Schuman, negeri ini hampir memiliki semua bahan (ingredient) yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju, atau minimal menjadi new emerging state, sejajar dengan Brazil, Rusia, India dan China (BRIC). Pemerintah menuntut banyak dari rakyatnya; kesetiaan, nasionalisme dan kepercayaan. Dalam cara pandang yang sama, rakyat juga berhak menuntut pemerintahnya untuk berubah; tidak bersolek citra tapi serius membuktikan kinerja. Kita tidak sedang hidup di era perjuangan kemerdekaan, dimana nasionalisme tidak butuh timbal balik. Menjaga kesetiaan dan mengelola optimisme, perlu jaminan kesejahteraan. Akhirnya, selamat HUT Republik Indonesia ke 66, bagi mereka yang merayakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI