3. Mengajukan fasakh nikah ke pengadilan agama. Fasakh adalah pembatalan pernikahan oleh hakim, umumnya karena suami tidak mampu menafkahi atau menelantarkan istri. Fasakh juga dapat diajukan jika suami memiliki cacat fisik atau telah murtad. (Al-Imrani Abu Husain Yahya, Al-Bayan fi Mazhabil Imamis Syafi'i [KSA: Darul Minhaj, 2000] juz IX, halaman 297).
Di Indonesia, fasakh dapat diajukan setelah suami meninggalkan istri selama dua tahun tanpa kejelasan. Ini diatur dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
4. Mengajukan pertikaian atau bahaya kepada hakim. Jika seorang istri menghadapi bahaya dari suaminya, hakim dapat menasihati suami untuk mengubah sikapnya. Jika perselisihan terus memburuk, hakim dapat mengangkat mediator dari kedua belah pihak. Jika kesepakatan tidak tercapai, hakim dapat memutuskan perceraian. (Asy-Syirbini Muhammad bin Ahmad, Mughni Muhtaj ila Ma'rifati Alfadz Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M], juz IV, halaman 429).
Di Indonesia, Pasal 39 UU.No.1/1974 menyatakan bahwa jika perselisihan suami-istri tidak dapat diselesaikan dan tidak ada harapan untuk hidup rukun, hakim dapat memutuskan perceraian setelah memberikan nasihat dan bimbingan.
Syariat Islam menekankan agar perceraian hanya terjadi jika tidak ada cara lain untuk mempertahankan pernikahan. Talak harus dilakukan dengan cara yang baik, sebagaimana dalam firman Allah:Â
"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, maka (suami) dapat menahan (pernikahan) dengan baik atau melepaskannya dengan baik" (QS Al-Baqarah ayat 229).
Meskipun talak secara Islam bisa terjadi cukup dengan ucapan suami, pelaksanaan perceraian di Indonesia harus melalui persidangan di pengadilan agama, sesuai perintah al-Qur'an:Â
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul, serta ulil amri di antara kamu" (QS An-Nisa' ayat 59).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H