Mohon tunggu...
I Komang Weda Prema Murti
I Komang Weda Prema Murti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Hey, i am using kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keunikan dalam Perayaan Hari Raya Kuningan

24 November 2021   02:08 Diperbarui: 24 November 2021   02:12 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Hari besar keagamaan merupakan salah satu hal yang erat kaitannya dengan kehidupan beragama. Setiap agama memiliki hari-hari besar keagamaannya tersendiri dengan tata cara perayaan yang berbeda pula. Hari besar keagamaan biasanya merupakan peringatan atas momen-momen tertentu yang berkaitan dengan perkembangan perkembangan agama tersebut. Namun, agama hindu memiliki perbedaan terkait dengan hari besar keagamaan diabndingkan dengan agama lain. Hari-hari besar keagamaan dalam agama hindu tidak berkaitan dengan peristiwa sejarah, tetapi hari-hari raya ini ditujukan untuk memuliakan nilai-nilai luhur dalam ajaran Veda. Salah satu dari banyaknya hari-hari besar keagamaan yang ada dalam Agama Hindu adalah Hari Raya Kuningan.

Perayaan hari raya Kuningan sangat berdekatan dengan perayaan hari raya Galungan. Hal ini dikarenakan perayaan hari raya Galungan dan perayaan hari raya Kuningan merupakan satu rangkaian upacara yang dimana umat Hindu di Bali akan merayakan hari raya Kuningan setelah 10 hari pelaksanaan hari raya Galungan. Oleh karena merupakan satu rangkaian upacara, maka  pelaksanaan hari raya Kuningan memiliki periode waktu yang sama seperti pelaksanaan hari raya Galungan yaitu sama-sama dilaksanakan setiap 210 hari sekali atau 6 bulan sekali menurut kalender Bali. Hari raya kuningan jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, Wuku Kuningan. Secara etiomologi, hari raya Kuningan berasal dari kata "kuningan" yang memiliki arti yaitu mencapai kebahagiaan spiritual dengan cara melakukan instrospeksi agar senantiasa terhindar dari segala marabahaya. Dengan melihat etiomologi kuningan maka kita dapat mengetahui bahwa perayaan yang dilaksanakan selama hari raya kuningan bertujuan untuk dapat mencapai kebahagiaan dan terhindar dari marabahaya.

Rangkaian perayaan hari raya Kuningan dimulai setelah 5 hari pelaksanaan hari raya Galungan. Rangkaian perayaan hari raya Kuningan ini terdiri dari Pemacekan Agung, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, Hari Raya Kuningan, dan Manis Kuningan. Diakhir rangkaian perayaan kuningan terdapat perayaan terakhir yaitu saat pegatwakan atau 32 hari setelah Kuningan bertepatan pada hari Buda Kliwon wuku Pahang. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Rangkaian perayaan hari raya kuningan dimulai dari Pemacekan Agung. Pemacekan Agung berasal dari kata "pacek" yang memiliki arti yaitu tekek atau tegar. Pemacekan Agung memiliki makna sebagai simbol dari keteguhan iman manusia dari segala godaan yang mereka alami selama perayaan hari raya Galungan. Pemacekan Agung ini dirayakan pada Kliwon wuku Kuningan. Selanjutnya, pada hari inti rangkaian perayaan yaitu pada hari raya Kuningan, umat hindu akan melaksanakan persembahyangan kepada para leluhur dimana persembahyangan ini bertujuan untuk memohon perlindungan dan keselamatan, memohon kemakmuran, serta memohon petunjuk agar dituntun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Apabila kita cermati lebih lanjut, terdapat perbedaan yang merupakan keunikan dari hari raya Kuningan dibandingkan dengan hari raya lainnya. Adapun keunikan yang terdapat pada hari raya kuningan ini adalah dibatasinya waktu umat hindu untuk melaksanakan persembhyangan pada hari raya kuningan. Pada hari raya kuningan, persembahyangan yang dilakukan oleh umat Hindu dianjurkan untuk dapat dilakukan sebelum tengah hari atau dengan kata lain, segala bentuk persembahyangan yang dilakukan oleh umat hindu untuk merayakan hari raya kuningan harus dapat diselesaikan sebelum jam 12 siang. Pembatasan waktu untuk melakukan persembahyangan ini bukanlah tanpa alasan yang jelas. Alasan dari tidak diperbolehkannya umat Hindu untuk melakukan persembahyangan setelah tengah hari atau setelah jam 12 siang pada hari raya kuningan adalah karena keyakinan umat hindu akan energi yang merupakan bentuk kekuatan dari Panca Mahabhuta seperti pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa yang akan mencapai puncaknya sebelum tepat siang hari. Dan apabila telah melewati pertengahan hari, maka hari akan memasuki masa pralina yang dimana energi-energi panca mahabhuta tersebut akan kembali ke asalnya. Selain itu, pada Pitara, Bhatara, dan Dewa juga akan turun ke dunia sebelum tengah hari dan akan kembali ke sorga apabila waktu sudah melewati pertengahan hari. Oleh karena itu, umat hindu diharapkan untuk dapat menyelesaikan segala bentukk persembahyangannya sebelum tengah hari dengan tujuan untuk mendapatkan rahmat yang maksimal selama persembahyangan di hari raya kuningan dan agar persembahyangan yang dilakukan tidak dimakan oleh Bhuta Kala sebagai akibat dari para dewa yang telah kembali ke sorga. Hal ini sebenarnya juga meningkatkan kedisiplinan umat akan waktu.

Selanjutnya, terdapat sarana berupa jejahitan cukup spesial karena sarana-sarana ini hanya digunakan oleh umat hindu dalam merayakan hari raya kuningan ini. Sarana-sarana berupa jejahitan yaitu Tamiang, Endongan, dan Ter. Diantara sarana-sarana upacara yang digunakan dalam merayakan hari raya kuningan, sarana Tamiang merupakan sarana yang paling khas. Tamiang ini merupakan sarana persembahyangan yang berasal dari danur dan memiliki bentuk yang bulat seperti perisai. Bentuk dari tamiang yang bulat ini merupakan ilustrasi tameng perang yang merupakan simbol perlindungan. Bentuk bulat tamiang ini juga melambangkan Dewata Nawa Sanga yang merupakan penguasa sembilan arah mata angin. Selain itu, bentuk bulat tamiang juga diartikan sebagai roda alam atau Cakra Ning Manggilingan yang memiliki arti sebagai roda kehidupan yang selalu berputar. Sarana Tamiang biasanya dipasang pada palinggih, bale, dan pelangkiran bersama dengan sarana lain yaitu Kolem. Sarana dalam merayakan hari raya kuningan berikutnya adalah Endongan. Endongan ini merupakan sarana yang memiliki bentuk menyerupai sebuah tas yang dimana Endongan ini berisikan perbekalan seperti beberapa buah, tebu, tumpeng dan sebagainya. Perbekalan yang terdapat dalam Endongan melambangkan bekal bagi para leluhur dan bekal bagi kita dalam menjalani kehidupan. Disini perlu ditekankan bahwa bekal yang paling utama dan penting bagi manusia khususnya bagi umat beragama hindu dalam menjalai kehidupan adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, masyarakat beragama hindu di Bali diharapkan mampu untuk menata kehidupan yang harmonis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sarana Endongan ini dipasangkan hanya pada pelinggih dan pelangkiran saja. Sarana berikutnya adalah ter. Ter ini merupakan sarana yang dijadikan simbol dari senjata panah karena bentuknya yang menyerupai panah. Perlu ditekankan bahwa senjata yang paling penting dalam kehidupan umah hindu adalah ketenangan pikiran.

Hal unik berikutnya yang ada di dalam perayaan hari raya Kuningan adalah penggunaan warna kuning. Warna kuning merupakan warna yang identik dengan perayaan hari kuningan. Warna kuning sendiri memiliki makna yaitu kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejateraan. Saking identiknya warna kuning dengan perayaan hari raya kuningan, bahkan menyebabkan warna tumpeng banten yang biasanya berwarna putih diubah menjadi berwarna kuning ketika perayaan hari raya kuningan. Hal ini juga berakibat pada nasi kuning. Pada perayaan hari raya kuningan, nasi kuning itu merupakan makanan yang wajib tersedia. Nasi kuning memiliki makna yang khusus yaitu sebagai lambang kemakmuran yang dianugrahkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada kita semua. Selain itu nasi kuning juga merupakan simbol dari kekuatan purusa dan pradana. Pembuatan nasi kuning ini biasanya dari nasi yang dicampur kunyit dan direbus bersama santan dan daun pandan harum. Dengan menggunakan santan yang sudah dicampur dengan dengan kunyit menyebabkan warna nasi kuning tidak akan mudah pudar. Selanjutnya, nasi kuning yang matang dan akan dihaturkan sebagai isian banten diletakan pada wadah yang bernama sulanggi. Sulanggi ini merupakan biasanya digunakan oleh umat hindu di Bali untuk mewadahi nasi kuning yang telah mereka buat pada banten. Sulanggi terbuat dari janur dan daun ron. Sulanggi memiliki ukuran yang bervariasi tergantung dari kebutuhan dari orang yang akan menghaturkan nasi kuning pada banten yang mereka buat. Selain itu, sulanggi juga berisikan lauk seperti kacang sahur dan yang lainnya sebagai pelengkap banten. Kelengkapan nasi kuning ini merupakan simbol dari makanan yang bergizi. Penggunaan sulanggi yang berasal dari janur dan ron memiliki keuntungan apabila dilihat dari kesehatan. Selain itu, penggunaan sulanggi sebagai wadah dari nasi kuning juga memiliki manfaat bagi lingkungan yaitu dapat terurai dengan mudah sehingga tidak mencemari lingkungan. Selanjutnya perlu dipertegas bahwa ketika kita ingin memberikan persembahan seperti persembahan makanan dan sarana upacara kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kita perlu melakukannya dengan didasari oleh hati yang tulus dan ikhlas.

Nama : I Komang Weda Prema Murti

NIM : 2118011027

Jurusan : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun