Pemilu adalah mekanisme penting dalam sistem demokrasi guna memilih seorang pemimpin dalam pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia sendiri sistem pemungutan suara sudah tidak asing lagi bagi masyarakatnya. Sistem yang dijalankan manual ini menggunakan kertas suara dan paku guna menandai atau mencoblos pilihan yang dituju. Meskipun memiliki sistem yang bisa dianggap sederhana, akan tetapi hal ini dipilih karena di klaim sebagai cara yang memberikan kemudahan dan tradisional. Namun di samping itu, sistem ini tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan yang memiliki berpengaruh langsung pada hasil pemilu. Dan juga kepercayaan publik akan proses demokrasi tersebut.
Secara pengertian pemilu atau pemilihan umum memiliki arti sebagai proses demokratis dalam memilih wakil rakyat atau pejabat pemerintahan oleh warga negara dalam suatu pemerintahan. Pemilihan Umum ini peranan penting dalam membentuk demokrasi modern, dengan memungkinkan rakyat untuk dapat terlibat memastikan sosok pemimpin beserta kebijakannya. Tidak hanya memilih pemimpin negara, tetapi juga wakil-wakil rakyat dalam lembaga legislatif. Dan sebagai upaya dalam memfasilitasi pergantian kekuasaan dengan memberikan jalur yang terorganisir serta kesempatan bagi mereka yang ingin terlibat dalam proses politik.
Sejak pemilihan umum coblos pertama di Indonesia pada tahun 1955, merupakan pemilu legislatif pertama setelah negara Indonesia mengalami kemerdekaan. Pemilu ini dijadikan sebagai tonggak sejarah penting dalam kisah perjalanan demokrasi negara tersebut. Dalam pemilu pertama itu, sistem coblos diperkenalkan untuk memilih anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Konstituante. Pemilih menggunakan kertas suara yang diberikan petugas untuk selanjutnya memilih partai atau calon legislatif jagoan mereka dengan cara mencoblos gambar atau nama calon. Meski sistem ini sederhana, proses tersebut tampaknya memberikan kesempatan pertama bagi rakyat Indonesia untuk berpartisipasi dalam menentukan nasib politik negaranya sendiri.
Sistem coblos yang dilaksanakan ada pemilu pertama ini memiliki makna yang mendalam guna menunjukkan gambaran awal rakyat Indonesia yang diberi hak suara dalam memilih wakil mereka. Terdapat tantangan besar pada saat itu, seperti keterbatasan logistik dan pendidikan. Karena seperti yang kita ketahui negara kira pada saat itu masih tergolong baru dan memiliki umur sebiji jagung. Cukup dimaklumi bahwa memang sarana dan prasarana kala itu tidak terlalu begitu menunjang. Namun, keberhasilan pelaksanaan pemilu 1955 tentu menunjukkan komitmen Indonesia terhadap prinsip demokrasi. Keputusan untuk tetap menggunakan keterbatasan dalam infrastruktur saat itu, menjadi simbol dari keinginan rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokratis yang bebas dan terbuka.
- Kelebihan Sistem Coblos Pemilu
Semenjak pelaksanaan Pemilu 1955, metode unik menggunakan kertas suara dan paku menjadi suatu ciri khas sistem politik Indonesia. Dengan tujuan mempermudah proses pemungutan suara, sistem ini mengalami kesuksesan  di tengah keterbatasan pada teknologi saat itu. Setiap pemilih akan diberikan kertas suara yang di dalamnya mencantumkan lambang partai politik peserta pemilu yang mencalonkan dirinya. Cara ini dipilih karena tingginya angka buta huruf di masyarakat, akibatnya simbol-simbol pada partai lebih mudah dikenali dibandingkan tulisan. Setelah memilih lambang partai yang diinginkan, pemilih nantinya akan menggunakan paku untuk mencoblos kertas suara pada bagian lambang tersebut. Metode ini dianggap sederhana, cepat, dan cocok untuk konteks Indonesia saat itu, di mana fasilitas modern belum tersedia di berbagai daerah. Setelah dicoblos, kertas suara dimasukkan ke dalam kotak suara, yang menjadi bukti sah bahwa pemilih telah menunaikan haknya. Penggunaan paku juga memiliki makna simbolis, yaitu menciptakan keterlibatan langsung pemilih dalam proses demokrasi. Metode ini terbukti efektif dan menantang serta menjadikannya sebagai tradisi yang bertahan dalam berbagai pemilu.
Kelebihan utama yang didapatkan dari sistem coblos adalah kemudahan pelaksanaan dan adaptasi di berbagai daerah. Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan besar dan kecil dengan ribuan pulau serta daerah terpencil. Tentu membutuhkan suatu sistem yang bisa diterapkan menyebar ke seluruh wilayah tanpa terpatok pada alat dan teknologi yang tinggi. Kemudahan distribusi dari kertas suara sebagai media yang ditetapkan, memungkinkan seluruh warga negara Indonesia untuk dapat menggunakan hak pilih mereka. Bahkan untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi, masih sangat dapat mengakses pemilihan umum tersebut. Pemerintah hanya perlu menyediakan fasilitas dengan mencetak surat suara dan mendistribusikannya ke setiap TPS di seluruh negara Indonesia (Tempat Pemungutan Suara). Â
Dengan biaya yang relatif rendah, sistem coblos memiliki pengeluaran yang lebih hemat dibandingkan dengan sistem elektronik yang memerlukan adanya perangkat keras dan terstruktur. Harga yang relatif mahal juga menjadi keengganan untuk dapat berubah ke sistem elektronik tersebut. Pada sisi lain, sistem manual hanya memerlukan anggaran hanya untuk pencetakan surat suara, pengadaan logistik, serta biaya tenaga kerja untuk pelaksanaan pemilu. Di daerah-daerah dengan keterbatasan anggaran, hal ini tentu menjadi angin segar akan solusi yang lebih praktis tanpa mengorbankan keadilan pemilu. Â
Sistem ini juga memberikan adanya transparansi dan timbulnya kepercayaan bagi pemilih. Karena dengan pemilihan yang dilakukan dengan cara yang dapat dilihat secara langsung oleh petugas dan saksi. Masyarakat juga lebih merasa lebih yakin bahwa suara mereka dihitung dengan benar. Pada mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya bagi yang memiliki rentan umur lebih tua atau yang tinggal di daerah dengan rendahnya literasi digital akan cenderung lebih nyaman dengan metode yang sudah dikenal ini. Menurut mereka, sistem manual seperti ini memiliki mekanisme yang lebih mudah dimengerti dan dipahami.
Selain itu juga, sistem manual juga memiliki poin penting untuk dapat terhindar dari potensi peretasan atau manipulasi data elektronik. Di banyak negara lain, sistem pemilu elektronik memiliki rentan terhadap ancaman cybercrime yang bisa mengubah hasil pada suara pemilu. Meskipun di sisi lain memiliki banyak kelebihan, sistem coblos manual tetap akan menghadapi tantangan yang tidak sedikit seiring berjalannya waktu.
- Kelemahan Sistem Coblos
Penggunaan kertas dan paku dalam pemilihan umum memang terkandung nilai kesederhanaan di dalamnya. Namun di samping itu juga, kita melihat dampak lain dari penetapan peraturan ini. Kertas dan paku, kedua benda tersebut mudah ditemukan dimana saja. Hanya dengan melubangi kertas dengan paku, satu suara masuk secara sah. Menambah suara ada calon-calon yang berpartisipas. Kertas yang dilipat guna memangkas ruang justru menjadi penghambat bagi rakyat ketika memilih karena kesusahan salam membukanya. Melipat kembali kertas sebelum kemudian dimasukan ke kotak suara memang bukan suatu keharusan yang dilakukan, namun intuisi akan rasa sadar diri mampu membuatnya seakan menjadi aturan yang tak tertulis lagi. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk menimbang dan memilih paslon pun menjadi terpangkas dengan waktu melipat kertas.Â
Selanjutnya adalah tahap penghitungan suara. Surat suara yang dikumpulkan di kotak suara, dibuka dan diambilnya. Pemilu Indonesia dengan sistem coblos ini masih dilakukan dengan cara manual. Dilakukan setelah proses pemungutan suara dalam suatu daerah telah selesai semua ikut serta. Tugas KPPS tidak berhenti sampai disana saja, mereka masih harus membuka satu persatu kertas surat suara hingga kemudian dituliskannya angka romawi I seiring dengan bertambahnya masyarakat memilih. Membuka dan membacakan serta menulis, begitu banyak orang yang diperlukan guna membuat tahap ini berlangsung sukses.
Lalu kesalahan dalam proses pencoblosan dapat mengakibatkan surat suara menjadi tidak sah. Seperti halnya letak coblos yang salah atau tidak tepat sasaran. Selain itu juga, sangat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam proses penghitungan manual. Hal ini bisa diperparah dengan banyaknya jumlah pemilih pada pemilihan umum tahun 2019 di Indonesia. Proses penghitungan yang dilakukan manual telah memakan waktu yang panjang. Hal ini bisa berpotensi menambah ketegangan dan akan ketidakpastian bagi publik. Proses ini bahkan dapat mempengaruhi hasil akhirnya, terutama ketika terjadinya selisih jumlah suara pada pemilu.Â
Kelemahan lain dari sistem manual adalah kerentanannya terhadap kecurangan fisik. Meskipun potensi akan manipulasi data memiliki presentasi lebih kecil, sistem ini sangat rawan untuk melakukan kecurangan pada level lokal. Seperti halnya dengan melakukan aksi curang penggantian surat suara atau terjadinya praktik coblos ulang. Tentu hal ini dapat merusak integritas hasil akhir suara pemilu. Selalu ada saja kasus pemilu yang mengalami kecurangan, seperti halnya laporan surat suara hilang, dicuri, hancurnya kotak suara di beberapa daerah. Dari sini, dampak yang dihasilkan adalah timbulnya keraguan dari masyarakat akan mekanisme sistem pemilu yang bobrok. Bahkan pengaruh tersebut datang dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan lokal dengan cara melakukan intimidasi atau ancaman terhadap pemilih.
Terdapat pula aspek lain yang ikut menantang dari sistem pemilu manual, yakni masalah logistik. Negara Indonesia dengan wilayah yang luas yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan berbentuk kepulauan besar kecil. Menjadikannya memerlukan pengiriman surat suara yang tidak hanya tepat waktu, tetapi juga aman. Proses distribusi surat suara ke setiap TPS seringkali terhambat oleh cuaca yang kurang baik, minimnya transportasi, dan masalah administratif. Keterlambatan distribusi ini bisa menimbulkan kekosongan pada TPS atau kurangnya surat suara yang disediakan di lokasi tertentu. Tentunya hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi pemilih karena merusak kredibilitas pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H