Momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak masyarakat Indonesia pasca pemilihan presiden sudah dilakukan oleh dua negarawan pada sabtu (13/07) lalu. Rujuk Politik yang diharapkan selama ini sudah terwujudkan. Peristiwa ini disebut dengan rekonsiliasi. Tentu ini menjadi agin segar setelah panasnya suhu politik di Indonesia saat ini, apalagi banyak disaksikan oleh masyarakat baik secara langsung atau melalui media dan video-vidio yang tersebar diberbagai social media.
Keputusan untuk bertemu dan merajut kembali persahabatan dua tokoh tersebut seharusanya menjadi contoh dan bukti bahwa inilah kedewasaan politik Indonesia. Namun di sisi lain tentu keputusan itu tidaklah dapat menyenangkan semua rakyat Indonesia. Pasti masih ada banyak oknum dan pihak yang tidak sependapat dengan Rekonsiliasi tersebut.
Hal ini wajar-wajar saja karena pemulihan pasca kontestasi politik memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.Setelah pertemuan antara Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo sudah pasti banyak yang mengharapkan kebesaran jiwa ini di tiru oleh semua pendukung baik pendukung 01 ataupun 02 yang lalu dan menjadikan alasan untuk mengakhiri perdebatan serta pertikaian yang telah terjadi selama ini.
Namun ada PR yang menjadi tanggungjawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat banyak, yaitu narasi-narasi dan diksi negatif yang sudah terlanjur tertanam dalam diri sedikit masyarakat saat ini.
Narasi-narasi Negatif yang Terlanjur Dibangun
Berbicara narasi dan diksi sebelum Pilpres tentu sangat banyak baik disengaja maupun tidak, atau demi kemenangan atau kepentingan lainnya. Contoh diksi negarif seperti politik genderuwo, politik sontoloyo, politik akal sehat dan masih sangat banyak yang lainnya. Istilah-istilah dan pilihan kata ini seakan memberikan bekas terhadap kehidupan masyarakat, terlebih kaum muda yang akan meneruskan pembangunan bangsa.
Selain diksi-diksi yang tidak baik di social media selama ini dipenuhi dengan narasi-narasi provokatif dan sangat menyesatkan. Tidak jarang masyarakat terpancing sehingga berujung menghujat dan membenci seseorang dan suatu kelompok lain yang tidak sama pilihan politik.
Narasi-narasi politik yang sudah dibangun selama menjelang Pemilu 2019 mesti dipahami dalam bingkai politik. Harus diakui bahwa narasi politik dari kedua Capres selama ini tidak utuh dan tidak mempresentasikan realitas sesungguhnya. Fatalnya lagi, masing-masing kubu acap kali meneguhkan narasinya dengan menebar hoaks, fitnah juga pelintiran kebencian (spin of hate).
Maka hal ini sangatlah tidak mungkin dilakukan oleh seseorang tanpa tujuan-tujuan tertentu, narasi yang menyudutkan kolompok seperti ormas Islam, agama, suku dan lawan politik. Serta tidak jarang memojokkan merusak nama baik tokoh-tokoh Ulama, Ilmuan dan lain-lain. ini tentu tidak mudah dihilangkan begitu saja dalam stigma masyarakat terhadap kebenciannya kepada kepada orang lain.
Sedikit atau banyak memang akan tertanam pada ingatan akan narasi-narasi negative yang sudah duraikan. Lalu setelah adanya upaya rekonsiliasi, luka lama ini menjadi tanggung jawab siapa? Tentulah demokrasi mengajarkan untuk saling menerima perbedaan pandangan terlebih dalam hal pandangan politik.
Membangun Narasi Politik Harapan
Rekonsiliasi yang sudah dilakukan oleh dua tokoh NKRI tersebut akan sangat tidak berarti apabila tidak memotivasi masyarakat untuk ikut berperan. "Pada dasarnya rekonsiliasi itu adalah demi terbentuknya kerdamaian dan kesejukan dikalangan masyarakat. Maka sudah saatnya masyarakat cerdas dan bergandengan tangan untuk kembali bersatu memajukan bangsa Indonesia".
Sesungguhnya rekonsiliasi dari masyarakat oleh masyarakat untuk masyarakat yang sebenarnya mampu merubah suhu panasnya politik setelah pertarungan politik 2019 ini. Maka dengan peran masyarakatlah, serta fokus terhadap cita-cita bangsa seperti termaksud dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, akan berhasil upaya perdamaian tersebut.