Pernahkah kalian mendengar istilah aetiologi? Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yakni aitia yang berarti penyebab. Â Dalam bahasa Indonesia kosakata ini telah diserap menjadi etiologi, salahsatu disiplin ilmu dalam kajian biologi yang mempelajari tentang penyebab satu penyakit. Secara umum aetiologi adalah cerita untuk menjelaskan sebab atau asal usul.
Selain aetiologi terdapat juga istilah lain yakni teleologi, ilmu filosofi yang mengkaji tentang fenomena yang terjadi memiliki tujuan tertentu. Berbeda dengan aetiologi yang mempertanyakan penyebab dari satu kejadian tertentu. Manusia memiliki pandangan tersendiri terhadap suatu objek yang dilihat, dirasakan ataupun dialami. Maka akal yang ditafsirkan menjadi perspektif kemudian menjadi simpulan yang dinamakan sebagai prinsip. Prinsip adalah dasar dari suatu yang kita yakini dan dianggap benar untuk menjadi acuan untuk mengambil tindakan atau cara berpikir tertentu.
Salahsatu landasan berpikir memungkinkan kita untuk menjadi seorang yang berprinsip aetiologi. Meskipun mengelak untuk menjadi bagian tersebut, manusia dirancang untuk mempertanyakan suatu kebenaran sebagai bagian dari makhluk eksistensial. Perilaku manusia dalam mencari pembenaran dapat terkategorikan sebagai Possesion Trance Disorder, yaitu suatu kondisi penggantian identitas personal menjadi identitas baru, yang ditunjukkan lewat perubahan perilaku. Bentuk perubahan yang sebagian besar akan kita dapat sebagai proses berkembang adalah bagian lumrah. Sangat mungkin untuk kita mengubah cara berpikir 'keras' karena kita akan selalu menggunakan kata bagaimana ataupun kenapa.
Orang yang memiliki cara pandang aetiologi dalam psikologi selalu mempertanyakan bagaimana ini dan itu bisa terjadi, serta mencari berbagai kemungkinan yang dapat menjadi muara dari apa yang ia alami. Misalnya, jika ia terserang flu. Dalam setiap detail kejadian yang dialami akan menjadi penguatan alasan yang bisa menjadi penyebab bagaimana ia terserang flu.
Dengan cara berpikir tersebut mungkin ia akan lebih berhati-hati dalam bertindak ke depan. Menyikapi solusi atas permasalahan yang terjadi itu merupakan cara berpikir teleologi, artinya kita beralih cara pandang dari seorang aetiologi menjadi seorang teleologi. Perbedaan mendasar seorang aetiologi adalah selalu mencari celah atas kejadian tertentu. Terkadang seorang dengan pandangan aetiologi bersembunyi dibalik pertanyaan yang menguatkan ia untuk berargumentasi dan cenderung membenarkan terhadap cara pandangnya.
Perbedaan perilaku manusia dan cara berpikirnya adalah bagian dari hukum alam. Kita tentu tidak bisa mengambil kontrol atas kejadian apapun yang tidak bisa kehendaki, terlebih bagaimana perspektif manusia lainnya. Penting untuk kita menghargai kebebasan berpendapat, tanpa perlu menyinggung lebih dalam tentang cara berpikirnya. Saya tidak menyalahkan cara berpikir aetiologi, yang dapat merunut kita menjadi seorang yang berpikir mendalam. Tetapi saya lebih menyukai cara berpikir teleologi yang menuntut kita bijak dalam menyikapi permasalahan yang terjadi.
Menjadi seorang manusia aetiologi tanpa perlu mempertanyakan keharusan dan kemungkinan bisa terjadi adalah konteks melawan kehendak semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H