Pada suatu sore yang hangat di bulan Ramadan, aku duduk di depan layar komputer, menelusuri untaian kata-kata yang tersusun rapi dalam forum kepenulisan yang kubina. Forum ini, bak sebuah taman beragam bunga, dihuni oleh anggota dari latar belakang agama yang berbeda-beda. Mereka, dengan semangat kebersamaan, menghiasi halaman virtual kami dengan narasi-narasi indah yang tak jarang mengupas tentang toleransi dan keindahan bulan puasa ini.
Aku, sebagai seorang Muslim, tak bisa menyembunyikan rasa takjub akan tingginya rasa hormat dan minat anggota non-Muslim membahas Ramadan. Gaya penulisan mereka penuh penghormatan dan ketulusan, seolah-olah melalui kata mereka dapat menyentuh hikmah spiritual yang coba kudapatkan dalam bulan ini. Itulah salah satu bukti toleransi dalam beragama, mereka menyempatkan diri untuk mempelajari, memahami, dan mungkin pada saat-saat tertentu, merayakan keragaman spiritual yang kita alami.
Kemudian, ada Johan, sahabat sekaligus teman menulis yang beragama Kristen. Tak seperti banyak orang yang mungkin merasa canggung dengan perbedaan ini, Johan malahan menunjukkan kehangatan yang amat dalam. Beberapa kali di bulan Ramadan ini, tanpa perlu diundang, ia akan datang menjelang waktu berbuka bersama adik perempuannya, Inez, membawa kue atau kadang jus buatan Inez sendiri.
Mereka akan duduk bersamaku di tempat kerja, dan kita akan berbincang, menunggu adzan magrib berkumandang. Aksi Johan bukan sekadar gestur kesopanan, melainkan tindakan yang melampaui batas agama, menunjukkan solidaritas kemanusiaan.
Ada kesederhanaan yang tulus dalam setiap interaksi kami. Aku tak pernah lupa kali pertama dia datang. "Bolehkah aku bergabung bersamamu saat waktu berbuka?" tanyanya dengan ragu. Senyumku saat itu adalah jawaban yang cukup bagi pertanyaannya. Kini telah menjadi tradisi yang kita nantikan setiap tahun. Perbedaan iman yang kami anut tak pernah menjadi jurang pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan.
Dan sungguh, hal tersebut termanifestasi dalam perilaku anggota forum kami. Beberapa, meskipun tidak diwajibkan, akan dengan sukarela tidak makan di depan orang yang sedang berpuasa. "Kami ingin menghormati mereka yang menjalankan ibadah puasa," ungkap salah satunya. Sikap tersebut menyentuhku, bukan karena aku perlu dihormati untuk dapat menjalankan puasa dengan teguh, tetapi karena ini menunjukkan kepekaan mereka terhadap perasaan orang lain. Mereka mengerti, bahwa dengan tidak makan di depanku atau muslim lainnya yang berpuasa, adalah bentuk dukungan penuh kasih akan komitmen spiritual kami.
Tentu saja, bagiku sendiri, melihat makanan di siang hari Ramadan bukanlah ujian yang berat. Ketika aku sudah berniat puasa, niatan itu jauh lebih kuat dari godaan apapun. Namun, kenyataan bahwa mereka yang berbeda keyakinan memilih untuk tidak makan di hadapanku bukanlah soal kemampuanku menahan godaan, melainkan tentang solidaritas dan rasa hormat yang mereka berikan. Itulah yang membuatku merasa 'keren' berada di antara mereka.
Toleransi tampak sederhana, tetapi ia memiliki kekuatan yang mengubah. Dalam buka puasa bersama, dalam kata-kata yang dituliskan dengan hati, dalam tindakan sehari-hari yang penuh pertimbangan, toleransi telah membuka ruang untuk persahabatan dan pengertian yang lebih dalam. Dan aku, dalam bulan penuh berkah ini, merasakan kehangatan dan kekayaan dari tradisi yang kami bagi meskipun kita berjalan di jalur iman yang berbeda. Menyaksikan bagaimana toleransi beragama bukan hanya sebatas tolerasi tetapi transformasi menjadi kekaguman dan dukungan, adalah sesuatu yang memperkaya pengalamanku pada bulan Ramadan.
Bagiku, toleransi ini bukan hanya terlihat pada saat-saat besar, namun juga dalam detail kecil seperti dalam ramah tamah dan pertukaran pemikiran di forum kepenulisan. Setiap anggota, tanpa kecuali, dengan penuh rasa hormat merangkul dan menyelami tradisi yang tidak mereka anut. Dalam suasana semacam ini, jelaslah bahwa Ramadan membawa banyak pelajaran; salah satunya adalah bahwa pembelajaran lintas agama dapat membawa kedamaian dan keharmonisan.