Dalam kesunyian dan kekhusyukan bulan Ramadan, aku menetapkan niatku bukan untuk meninggalkan media sosial sepenuhnya, melainkan mengurangi penggunaannya secara signifikan. Keputusanku ini bukan tanpa alasan: aku berambisi menemukan keseimbangan antara pekerjaanku dan waktu ibadah, serta memperkaya interaksi sosialku di dunia nyata. Ingin kukurangi suasana bising digital yang kerap menyita perhatianku, dan lebih bijaksana dalam memilah media sosial mana yang benar-benar penting untuk pekerjaanku.
Minggu Pertama: Navigasi Menuju Keseimbangan
Selama minggu pertama, aku menemukan diriku sering tergoda untuk menjelajahi beranda yang biasanya kubuka saat waktu senggang. Namun, kudisiplinkkan diri untuk membatasi kunjungan hanya pada saat-saat tertentu --sejenak di pagi dan sore hari. Aku memfokuskan interaksi media sosial hanya untuk keperluan pekerjaan, memilah dengan teliti apa yang mendesak dan apa yang bisa menunggu.
Minggu Kedua: Menyelami Kedalaman Interaksi Nyata
Memasuki minggu kedua Ramadan, perlahan aku terbiasa dengan rutinitas baru ini. Aku membatasi notifikasi hanya untuk pesan dan email kerja, sedangkan aplikasi media sosial yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan tetap dalam keadaan diam. Senja berbuka bersama keluarga dan teman-teman menjadi lebih berarti, saat aku berbagi cerita dan pengalaman sehari-hari tanpa gangguan ponsel yang menderu.
Minggu Ketiga: Pengayaan Kualitas Profesional dan Spiritual
Di minggu ketiga ini, kejelasan mentalku meningkat, dan akupun merasa lebih produktif dalam bekerja. Aku menggunakan waktu yang sebelumnya tercurah pada media sosial untuk belajar dan mengasah keahlian profesional.
Dalam hubunganku dengan media sosial, aku menjadi lebih selektif, hanya mengikuti akun atau grup yang memberikan informasi dan jaringan yang mendukung pekerjaanku. Media sosial kini bertransformasi menjadi alat, bukan distraksi.