Mungkin sekarang ini kita sudah familiar jika mendengar kata Suku anak dalam, banyak pula yang berpendapat bahwa Suku anak dalam adalah orang-orang kumuh, liar, bau, bahkan hal-hal negatif lainnya, terlebih dari suku anak dalam adalah kelompok masyarakat pedalaman propinsi Jambi; sesempit pengetahuanku tentang suku anak dalam, setelah lebih kurang satu bulan berinteraksi dengan mereka, se-iya-nya suku anak dalam mempunyai kelebihan sendiri dalam menjalani hidup.Â
Seperti pak Tarib membuat ide hompongan (menanam tanaman di sepanjang tapal batas Taman Nasional), atau seperti temenggung Bepayung yang berpendapat bahwa air adalah sumber kehidupan dan juga sumber penyakit, jika air tercemar, akan mudah manusia terkena penyakit, atau pula tentang menjaga perilaku; ku pikir mereka lebih baik perilakunya dari pada masyarakat terang kebanyakan, bagaimana mereka menjaga mata, contohnya: dikalangan suku anak dalam, perempuan yang sudah menikah itu bertelanjang dada, berinteraksi dengan masyarakat lainnya, tapi tidak pernah aku mendengar kalangan perempuan suku anak dalam mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari masyarakatnya.Â
Coba kita bandingkan dengan berita-berita pelecehan perempuan oleh orang terang seperti kita. Ketika aku memikirkan banyak hal untuk bertahan hidup, kalangan suku anak dalam hanya memikirkan hutan untuk bertahan hidup, seperti halnya seloko adat yang mereka percaya " ada hutan ada bunga, ada bunga ada dewa", bagi mereka yang masih menganut kepercayaan, pepohonan, hutan, itu memang penting untuk berjumpa dengan dewa-dewa, tapi bagi kita umat beragama bukankah juga diperintahkan untuk menjaga bumi yang sudah tua renta ini.Â
Ada lagi, mungkin ini selalu menjadi pertanyaan didalam kepalaku, baik sebelum ataupun sesudah aku berkunjung dan berinteraksi langsung dengan suku anak dalam.Â
Ku pikir sudah banyak yang memperhatikan masalah kemarginalan mereka, mulai dari pemerintah itu sendiri, NGO, pihak swasta, perusahaan bahkan komunitas-komunitas yang entah mengatasnamakan apa, tapi konteks kemarginalan ini belum berakhir, mungkin juga belum beranjak, atau malah semakin buruk.Â
Apakah kita hanya menjadi ahli 'konservasi kemarginalan' atau arahan untuk memperhatikan suku anak dalam hanya mengisi kekosongan? Â Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H