Mohon tunggu...
Ikie Tonggeng
Ikie Tonggeng Mohon Tunggu... Freelancer - Bukan siapa-siapa

Rabu, 7 November 1990 pukul 03.45 WIB saya dilahirkan atas kerjasama, usaha, jeripayah ibu bapak saya yang menghasilkan produk, itu lah Saya... menangis, merangkak, duduk, berjalan, berlari dan sampai bisa berbohong ! dari beberapa orang hingga banyak orang yang ku temui, dari satu tempat, hingga banyak tempak ku kunjungi. berpindah muasal pesisir pantai, puncak gunung sampai perut bumi. tak ada yang ingin aku bicarakan disini,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suku Anak Dalam

27 Februari 2019   09:30 Diperbarui: 27 Februari 2019   10:17 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mungkin sekarang ini kita sudah familiar jika mendengar kata Suku anak dalam, banyak pula yang berpendapat bahwa Suku anak dalam adalah orang-orang kumuh, liar, bau, bahkan hal-hal negatif lainnya, terlebih dari suku anak dalam adalah kelompok masyarakat pedalaman propinsi Jambi; sesempit pengetahuanku tentang suku anak dalam, setelah lebih kurang satu bulan berinteraksi dengan mereka, se-iya-nya suku anak dalam mempunyai kelebihan sendiri dalam menjalani hidup. 

Seperti pak Tarib membuat ide hompongan (menanam tanaman di sepanjang tapal batas Taman Nasional), atau seperti temenggung Bepayung yang berpendapat bahwa air adalah sumber kehidupan dan juga sumber penyakit, jika air tercemar, akan mudah manusia terkena penyakit, atau pula tentang menjaga perilaku; ku pikir mereka lebih baik perilakunya dari pada masyarakat terang kebanyakan, bagaimana mereka menjaga mata, contohnya: dikalangan suku anak dalam, perempuan yang sudah menikah itu bertelanjang dada, berinteraksi dengan masyarakat lainnya, tapi tidak pernah aku mendengar kalangan perempuan suku anak dalam mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari masyarakatnya. 

Coba kita bandingkan dengan berita-berita pelecehan perempuan oleh orang terang seperti kita. Ketika aku memikirkan banyak hal untuk bertahan hidup, kalangan suku anak dalam hanya memikirkan hutan untuk bertahan hidup, seperti halnya seloko adat yang mereka percaya " ada hutan ada bunga, ada bunga ada dewa", bagi mereka yang masih menganut kepercayaan, pepohonan, hutan, itu memang penting untuk berjumpa dengan dewa-dewa, tapi bagi kita umat beragama bukankah juga diperintahkan untuk menjaga bumi yang sudah tua renta ini. 

Ada lagi, mungkin ini selalu menjadi pertanyaan didalam kepalaku, baik sebelum ataupun sesudah aku berkunjung dan berinteraksi langsung dengan suku anak dalam. 

Ku pikir sudah banyak yang memperhatikan masalah kemarginalan mereka, mulai dari pemerintah itu sendiri, NGO, pihak swasta, perusahaan bahkan komunitas-komunitas yang entah mengatasnamakan apa, tapi konteks kemarginalan ini belum berakhir, mungkin juga belum beranjak, atau malah semakin buruk. 

Apakah kita hanya menjadi ahli 'konservasi kemarginalan' atau arahan untuk memperhatikan suku anak dalam hanya mengisi kekosongan?  Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun