Ini cerita Saya Tentang Unlimited Dream
Banda Aceh menjadi tempat terakhirku menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dikarena saya sering berpindah sekolah. Saya tidak menyelesaikan SMP dan SMA di satu sekolah yang sama. Pada tahun 2006 saya berhasil menamatkan sekolah di SMAN 8 Banda Aceh.
Sangat lama saya berharap menjadi seorang mahasiswa waktu itu. Jujur, saya tidak nyaman belajar di SMA, karena saya kurang menyukai dan menguasai semua pelajaran. Ini disebabkan saya malas belajar 14 mata pelajaran sekaligus dalam jangka waktu 6 bulan. Apalagi cara mengukur kecerdasannya, yang hanya diukur dari peringkat kelas. Rasanya seperti tahanan kelas selama berjam-jam di saat pelajaran berlangsung ketika masih SMA dulu.
Kondisi seperti inilah mendorong saya sangat ingin menjadi seorang mahasiswa. Dengan menjadi mahasiswa, hanya belajar bidang yang kita sukai saja dan jika tidak suka kita bisa pindah jurusan.
Waktu belajar di SMA telah usai, liburan panjang di kampung halaman Meulaboh juga telah berakhir, dan saya pun memilih menuju ke Banda Aceh kembali untuk melanjutkan pendidikan. Aku memilih melanjutkan studi di jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Saya sangat senang bukan karena dapat lulus dan berkuliah di Unsyiah, tapi lebih menyenangkan lagi karena jurusan yang saya pilih.
Membangun kemandirian
Banyak orang merasa bangga dapat kuliah, apalagi di Perguruan Tinggi Negeri yang dilewati dengan tingkat persaingan yang tinggi itu, benar-benar membuat hati orang berbunga-bunga. Namun, di balik kebahagiaan dan kegirangan itu, banyak yang lupa bertanya pada diri sendiri. “Akan kemanakah aku setelah ini?” Sehingga, tidak sedikit yang lupa bahwa sesungguhnya selembar ijazah sarjana itu untuk saat ini, di satu sisi sangat diperlukan, namun di sisi lain, bekal ilmu, pengalaman dan kemauan untuk maju adalah kunci untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Berangkat dari kesadaran itu, aku sudah tertarik membuat kesibukan pekerjaan di sela-sela waktu kuliah. Sejak semester tiga sampai semester enam saya rajin mengirimkan lamaran ke tempat yang membutuhkan tenaga kerja. Waktu pekerjaan seperti menjadi pramuniaga toko, tentor dan announcer sekalipun. Banyak pengalaman yang saya dapatkan dalam mencari kerja sambil kuliah itu. Sering ditolak dengan alasan karena masih terlalu muda dan belum berpengalaman. Pastilah, mereka hanya membutuhkan mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliah bukan mahasiswa yang sedang kuliah.
Aku yakin sekali bahwa Allah selalu menyimpan rahasia kegagalan ini lebih manis dari yang aku bayangkan sebelumya. Karena Allah telah merencanakan yang terindah untuk kita hambanyaNya. Tidak mempunyai cukup uang semasa kuliah itulah yang menjadi peluang emas yang sangat luar biasa. Aku pernah ingat ungkapan seorang dosenku “bersyukurlah kalau kita sedang mendapat masalah, karena Allah sedang memberikan jalan sukses untuk kita di masa mendatang.”
Memang tidak semudah yang diucapkan, untuk keluar dari masalah keuangan sangat butuh keberanian yang luar biasa besar. Malu, itu kata pertama yang muncul ketika saya meminta tambahan uang dari orang tua. Ibu saya selalu bilang agar selalu berhemat, uang bulanan yang tidak pasti juga membuat kondisi kepepet menjadi sangat baik untuk memunculkan ide yang luar biasa.
Alhamdulilah, pasca bencana Tsunami banyak berdatangan organisasi non pemerintah (NGO) ke Aceh untuk melakukan proses rehabilitasi dan rekontruksi, dan dipertengahan tahun 2007 saya berhasil bekerja di salah satu NGO dari Inggris yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan terutama di kalangan anak- anak dan remaja Aceh untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan. World Vision tempat pertama kali yang menerima Saya bekerja. Awalnya saya ditentang oleh keluarga saat bekerja di NGO ini dengan alasan World Vision merupakan organisasi bantuan, pengembangan dan advokasi yang berasal dari Kristen global. Jadi keluarga saya yang muslim takut jika saya akan mengikuti aliran kristenisasi atau Tuhan Kristen juru selamat mereka. Namun setelah saya menjelaskan bahwa di World Vision saya banyak belajar, bagaimana berbagi hal-hal yang sederhana untuk meningkatkan harapan, bantuan dan kapasitas hidup anak-anak, remaja dan keluarga yang hidupnya terancam setelah bencana tanpa mempengaruhi keyakinan agama, akhirnya keluarga saya mendukung juga. Di World Vision kami bekerja dan berbagi ilmu dengan keluarga, para pelajar, masyarakat di kota Banda Aceh serta mitra untuk memastikan bahwa anak-anak menikmati kesehatan yang baik, dididik untuk hidup mandiri semenjak muda, mengalami kasih Tuhan dan tetangga mereka, dan dirawat, dilindungi, dan berpartisipasi.
Berbekal ilmu dan pengalaman dari World Vision inilah yang akhirnya membuat diri saya berani mengambil tindakan untuk membangun usaha sendiri sesuai dengan latar pendidikan saya ketika sedang kuliah. Bimbingan Belajar adalah pilihan utama yang mendorongku lebih termotivasi untuk terus berjuang keluar dari masalah mengeluh tentang ‘uang’ setiap bulan. Bimbingan Belajar BIMA sudah lebih dari tiga tahun, disinilah saya dapat membiayai kuliah setelah saya tidak bekerja lagi di NGO. Hasil inilah pula yang membuat saya dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu.