Walaupun hari raya Imlek tahun 2016 sudah lewat, namun perayaan Imlek di Indonesia buat saya tidak sekedar hari raya warga etnis Tionghoa, tapi juga dapat menjadi salah satu sarana untuk merawat dan meningkatkan kerukunan antarumat beragama di berbagai daerah di Indonesia. Mengapa? Karena saya punya pengalaman saat perayaaan ritual Tahun Baru China warga etnis Tionghoa ini, yakni pada 19 Februari 2015 tahun baru Imlek 2566 di Jakarta dan pada 8 Februari 2016 tahun baru Imlek 2567 di Banda Aceh. Saat itu diadakan berbagai kegiatan, seperti yang terjadi di Banda Aceh, salah satunya pertunjukan barongsai disertai alunan musik tradisional yang khas. Pada saat itulah warga Banda Aceh yang mayoritas islam berbaur dengan warga Tionghoa menikmati pertunjukan barongsai dan kegiatan lainnya.
“Senangnya melihat budaya etnis China, orang-orang rukun, padahal mereka memiliki perbedaan, berbeda agama, suku, dan jenis kelamin, namun mereka tidak bertengkar, bahkan mereka saling berbagi,’’ ujarku dalam hati saat itu.
“Kami sangat berterima kasih kepada ibu wali kota Banda Aceh Illiza Sa’adunddin Jamal yang telah mengayomi warga Tionghoa, sehingga dapat merayakan Imlek dengan aman dan dan lancar,” ucap salah seorang panitia saat acara penyambutan.
Salah seorang warga Tionghoa yang saya temui juga mengungkapkan jika ia merasa orang Aceh itu sangat toleran sehingga nyaman tinggal di Bumi Serambi Mekkah ini.
“Kami selalu bertoleransi dan berbagi kepada pemeluk agama lain, khususnya Islam, sehingga hubungan kami tetap harmonis,” ujarnya yang juga mengaku jika ia memiliki banyak teman orang Islam warga Aceh di sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Tak jarang teman-teman yang mayoritas muslim yang ia kenal lewat media sosial tersebut sering bersilaturahmi ke rumahnya saat Imlek. Sehingga ia pun tak sungkan untuk melakukan hal yang sama saat Idul Fitri dan Idul Adha. Ia berharap toleransi dan keberagaman terus dipupuk.
Saya melihat, merasakan dan dapat belajar, jika toleransi dan kerukunan umat beragama di Banda Aceh cukup baik, karena warga non-Muslim bebas beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Seperti warga Tionghoa yang merayakan Imlek yang tidak merasa terganggu. Selain itu interaksi umat Islam dengan Tionghoa dan umat beragama lainnya juga terjalin dengan baik, sehingga tidak pernah terjalin konflik agama di daerah ini.
Dalam sebuah kesempatan ibu wali kota Banda Aceh Illiza Sa’adunddin Jamal juga pernah mengatakan di media saat menjelang peringatan Imlek. Dikatakannya, “Imlek merupakan bagian dari perayaan Hari Raya bagi warga Tionghoa, maka umat Islam harus dapat menghargai, demikian juga sebaliknya warga Tionghoa juga harus menghargai setiap kegiatan keagamaan umat Islam.” Namun beliau juga mengharapkan, dalam perayaan Imlek agar tidak berlebihan, seperti bakar mercon dan kembang api, sehingga tidak mengganggu warga Aceh yang mayoritas muslim.
***
Pada 19 Februari 2015 tahun baru Imlek 2566 di Jakarta, saya juga merasakan hal yang sama saat saat berkunjung ke Kelenteng Kong Miao rumah adat agama Khonghucu di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Di sana pun banyak pengujung yang muslim yang ingin melihat lebih dekat bagaimana ritual keagamaan warga Tionghoa dan pembagian angpau saat perayaan Imlek berlangsung. Suasana pun terasa akrab, tenang dan damai serta saling menghormati di antara para pengujung yang datang dengan umat Khonghucu etnis Tionghoa.