Mohon tunggu...
Ikhwanul Farissa
Ikhwanul Farissa Mohon Tunggu... Ilmuwan - Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

"*Indahnya Rembulan, Teriknya Matahari"*

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melaut Dengan Kearifan Lokal Dan Tradisi

21 Mei 2015   20:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419273" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi"][/caption]

Dalam tulisan saya kali ini, saya akan memperlihatkan kearifan lokal dalam tradisi masyarakat nelayan Kuala Bubon yang tampak dalam ritual/kenduri, bentuk larangan, harapan atau cita-cita masyarakat terhadap sesuatu yang luhur dalam komunitasnya.

Kuala Bubon merupakan salah satu perkampungan nelayan yang terletak persis di kawasan pesisir pantai Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Kecamatan Samatiga. Walaupun pernah diterjang Tsunami hebat akhir Tahun 2004 lalu, Desa Kuala Bubon masih bertahan hingga sekarang bersama tradisi dan kearifan lokalnya. Kawasan pesisir Kuala Bubon memiliki kombinasi keragaman lingkungan, dimana di kawasan tersebut terdapat sungai, pantai, tambak dan hutan mangrove. Sehingga dapat dipastikan Kuala Bubon memiliki keragaman hewan laut yang tinggi.

[caption id="attachment_419159" align="aligncenter" width="448" caption="Lokasi perkampungan masyarakat nelayan Kuala Bubon. Foto koleksi pribadi"]

14322123882105146124
14322123882105146124
[/caption]

“Ikan yang hidup di perairan Desa Kuala Bubon sangat beragam, baik ikan air tawar maupu ikan air laut sehingga begitu banyak para pemancing yang datang dari berbagai daerah di Kabupaten Aceh Barat.” ungkap Agus salah satu nelayan di Desa Kuala Bubon.

Tempat tinggal penduduk setempat sebahagian besar menempati perumahan panggung yang dibangun di atas permukaan air sungai di kedalaman antara satu sampai lima meter. Antar rumah dihubungkan dengan jembatan beton begitu juga dengan tiang rumahnya. Jembatan di perumahan masyarakat Kuala Bubon berfungsi sebagai halaman dan menghubungkan antara rumah satu dan lainnya seperti yang terlihat pada foto. Pemukiman penduduk yang terkesan padat ini dibangun oleh salah satu NGO Internasional setelah Tsunami meluluh lantakkan Desa Nelayan tersebut yang berada di jalan negara Meulaboh – Banda Aceh.

ØKearifan lokal mengenai laut

Hampir semua wilayah pesisir pantai di Aceh memiliki tradisi melaut yang sama, termasuk masyarakat nelayanKuala Bubon yang juga memiliki kearifan lokal mengenai laut berupa aturan dan pantangan turun temurun yang dipraktikkan, dipelihara dan ditaati oleh masyarakatnya serta mengenai kebiasaan-kebiasaan yang juga dikemas turun-temurun dijadikan sebagai tradisi. Dari hasil penelusuran wawancara dengan kepala desa, panglima laut dan beberapa warga nelayan di Desa Kuala Bubon terdapat aturan adat yang melarang warga desa untuk melaut pada hari-hari tertentu yang disebut hari pantang melaut (warga Aceh menyebutnya uroe pantang laot). Aturan atau pantangan tersebut tetap merupakan hukum adat bagi nelayan yang melakukan penangkapan di daerah itu dan berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.

Aturan adat yang ada tersebut memiliki sanksi adat bagi warga desa yang melanggar. Sanksinya dapat berupa hukuman ringan hingga berat. Hukuman ringan berupa pelelangan hasil tangkapan laut yang dicari oleh si pelanggar. Sedangkan hukuman berat hak-hak nya sebagai warga desa di cabut. “Kalau masyarakat sampai berani melaut dan menangkap ikan pada hari pantang laot, jelas masyarakat kena sanksi, ya paling tidak dibina dulu, kalau sampai melanggar hingga dua sampai tiga kali ada tindakan berupa hukuman ringan dan berat, tetapi sampai sekarang ini, belum ada sampai ke tindakan,” kata Marhaban selaku panglima laut Kuala Bubon.

Adapun hari – hari pantang melaut itu adalah:

1.Hari Jumat

Hari Jumatdilarang melaut 1 (satu) hari terhitung sejak tenggelamnya matahari pada hari kamis hingga terbenamnya matahari pada Hari Jumat.

2.Hari Raya Idul Fitri

Pada Hari Raya Idul Fitri dilarang melaut selama 2 (dua) hari dihitung sejak tenggelamnya matahari pada Hari Meugang hingga terbenamnya matahari pada kedua hari raya.

3.Hari Raya Idul Adha

Pada Hari Raya Idul Adha dilarang melaut selama 3 (tiga) hari dihitung sejak tenggelamnya matahari pada Hari Meugang hingga terbenamnya matahari pada ketiga hari raya.

4.Hari Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus

Pada Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus dilarang melaut selama 1 (satu) hari sejak tenggelamnya matahari hingga terbenamnya matahari pada Tanggal 17 Agustus.

5.Hari Tanggal 26 Desember

Menurut Panglima Laot Kuala Bubon Bapak Marhabban. Tanggal 26 Desember merupakan hari pantang laot baru yang telah disepakati dalam Rapat Dewan Meusapat Panglima Laut se -Aceh di Banda Aceh pada 9 – 12 Desember 2005, untuk mengenang bencana gempa dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Pantang laut Tanggal 26 Desember dimulai sejakterbitnya matahari hingga terbenamnya matahari tanggal 26 Desember.

6.Hari Acara Kenduri Laut

Dinyatakan 3 (tiga) hari pantang laut pada acara kenduri laut dihitung sejak keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelamnya matahari pada hari ke tiga.

“Upacara kenduri laut dilaksanakan setiap tahun sekali, tepatnya setiap bulan Januari, namun hari dan tanggalnya baru ditentukan beberapa minggu sebelumnya berdasarkan kesepakatan para pemangku desa. Dalam pelaksanaannya ratusan masyarakat berdatangan, berkumpul, bersatu bersama, baik yang tinggal di Kuala Bubon maupun yang tinggal bersebelahan dengan desa kuala bubon”. ungkap M. Nasir selaku kepala desa Kuala Bubon.

Dalamupacara kenduri laut yang dilakukan di pinggir pantai itu dibuat pengajian disertai dengan doa- doa khusus yang dipanjatkan, dengan mempersembahkan sejumlah ekor ayam, kambing atau sapi dan kerbau untuk dikorbankan (dipotong) sebagai tanda sukacita dan ucapan terima kasih atas keberhasilan mereka membawa hasil melaut yang berlimpah, sehingga kehidupan nelayan menjadi jauh lebih baik (memberikan kesejahteran hidup) dan sebagai perwujudan rasa hormat terhadap sang penguasa lautan. Selain itu juga sebagai bentuk selamatan maupun upacara tolak bala dalam upaya pencarian nafkah melalui kegiatan penangkapan ikan di laut.

ØMenggunakan Tanda Alam Sebagai Pedoman Melaut

Dalam kaitannya dengan kegiatan melaut, sejak lama masyarakat nelayan Kuala Bubon mempunyai pengetahuan tradisional tentang lingkungan laut dan alam raya. Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang gejala alam yang dimiliki masyarakatnya masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani kehidupan di laut.

“Kami masih mengandalkan gugusan bintang, arah angin dan arus gelombang laut untuk menentukan arah boat dan perahu saat mencari ikan, jangankan menggunakan teknologi yang lebih canggih, alat semacam kompas saja belum pernah kami lihat dan punya”. Walau tertinggal dalam teknologi, tapi kearifan terhadap laut membuat kami betah hidup sebagai pelaut” ujar Safrizal dan Anan yang merupakan nelayan senior di desa itu.

Selain pada gugusan bintang, gejala-gejala alam yang menjadi pedoman para nelayan kuala bubon adalah, gumpalan awan yang berarak, serta ketika burung bangau dan elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

“Taburan bintang digunakan sebagai pedoman arah dalam pelayaran di malam hari, seperti bintang pari untuk menandai arah selatan dan bintang fajar yang menandai ufuk timur. Berdasarkan bintang-bintang tersebut kami para nelayan tidak mudah kehilangan arah atau tersesat dalam pelayarannya di tengah laut. Sementara untuk gumpalan awan, gambaran awan yang biasanya kami jadikan pedoman adalah oleh awan yang memerah di ufuk barat, biasanya pada saat menjelang senja. Apabila awan tersebut tampak, maka itu pertanda ikan-ikan di laut sudah banyak, kami sebagai nelayan beranggapan sudah tiba saatnya untuk melaut. Kemudian ketika burung bangau dan elang mendekati permukaan laut ketika air surut menandakan lebih banyak akan keberadaan hewan dan biota laut yang dapat ditangkap oleh nelayan selain menjadi mangsa burung tersebut” cerita Anan dan Safrizal di sela – sela kegiatannya menjahit jaring/jala ikan yang robek.

[caption id="attachment_419161" align="aligncenter" width="448" caption="Para nelayan Kuala Bubon di sela kegiatannya memperbaiki jaring/jala ikan yang rusak, foto koleksi pribadi"]

14322126691437160334
14322126691437160334
[/caption]

[caption id="attachment_419165" align="aligncenter" width="448" caption="Nelayan Kuala Bubon dengan kearifan lokal dan tradisinya dapat menjaga kelestarian pesisir dan laut, foto koleksi pribadi."]

14322129631590012564
14322129631590012564
[/caption]

Sejalan dengan peredaran siang dan malam, para nelayan juga mempunyai perangkat pengetahuan tentang peredaran musim yaitu musim barat dan musim timur. Musim timur dianggap baik untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karena di hari musim timur kondisi laut saat tenang, tidak ada badai dan arus gelombang laut tidak terlalu kuat sehingga ikan – ikan banyak berada ke pinggir atau tepi laut yang memudahkan para nelayan untuk menangkap/menjaring ikan.

"Pada musim timur aneka jenis burung camar akan banyak berdatangan untuk memangsa ikan, karena memang pada musim itu jumlah ikan dan hewan laut lainnya sangat melimpah. Sedangkan pada musim barat justru sebalikanya”, ujar panglima laut seraya menutup obrolannya berhubung waktu sudah mendekati mangrib.

Peristiwa Tsunami tidak membuat mereka menjadi masyarakat yang larut dalam kesedihan. Tidak ada kata putus asa dan tetap terus dekat dengan laut dan pesisir yang telah memungkinkan mereka memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Semangat dan tradisi yang dijiwai para nelayan ini telah memberikan kontribusi positif bagi lingkungan masyarakat banyak.

Masyarakat Nelayan Kuala Bubon telah membuktikan bahwa mereka telah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan kearifan lokal tersebut, masyarakatnya dapat menjaga kelestarian pesisir dan laut dan menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif agar dapat memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi, sehingga mereka dapat terus melangsungkan kehidupannya bahkan dapat berkembang dan terberdayakan secara berkelanjutan bersama kearifan lokal dan tradisinya. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun