Sang surya perlahan mengintip diantara gelombang-gelombang awan sore itu. Ia membersamai cantiknya pelangi yang menghiasi cakrawala sendu mengiring kepergian hujan.
Ditemani secangkir teh manis hangat, pandanganku melayang jauh menelisik teduhnya perkebunan teh dari teras rumah.Lingkaran putih keperakan yang memeluk jari manis, kuputar-putar. Pikiranku melayang menembus batas realita.
Teringat aku akan memory disudut ruang kelas bertahun yang lalu. Kemeja putih dan celana biru tua melekat dibadan saat pelan-pelan aku mendekat ke salah satu bangku di ruangan itu. Mereka pun menjadi saksi bisu, berdegupnya jantung menanti jawaban dari gadis manis berambut hitam panjang nan lurus.
Kembali kuteguk teh hangat didepanku. Secuil senyum tersembul diwajahku kala mengingat masa-masa itu. Samar-samar kuingat wajah Wati, si gadis manis dengan rambut hitam panjang nan lurus, yang sedang menantiku disudut ruang kala itu. Sedikit terbayang anggukannya yang menjawab pertanyaanku pagi tadi, sekaligus menandai awal dari hubungan kami. Yah kami berpacaran. Hubungan kami bertahan selama 10 bulan. Aku mengakhirinya di bulan kesepuluh karena kejadian konyol yang terjadi sepanjang bulan kesepuluh hubungan kami. Entah karena apa, selama sebulan terakhir hubungan kami, aku lupa sebuah fakta penting dalam hubungan kami, bahwa aku punya pacar.
Geli rasanya mengingat usiaku kala itu masih 15 tahun.
“Huft, dasar anak-anak”, gumamku sambil mulai tertawa kecil, seakan-akan anak laki-laki di sudut ruang itu bukanlah diriku.
---
Keheningan sore itu terusik oleh dering handphone yang kuletakkan disamping teko dari tanah liat coklat berisi teh. Ternyata sebuah pesan singkat dari sahabat lama di SMA.
“Selamat ya bro!!!”
Seketika itu juga terlintas dikepalaku kenangan-kenangan masa SMA. Tawa kecil kembali menyeruak bersama ingatan akan dua orang temanku di Paskibra dan OSIS SMA ku. Nindi dan Sabila namanya. Keduanya menjadi saksi kunci kejahilanku di masa SMA. Bagaimana tidak? Setelah berminggu-minggu aku mendekati Nindi, tiba-tiba aku menjauh darinya gara-gara satu kalimat sederhanya yang keluar dari mulutnya.
“Kamu suka sama aku ya?”
Laksana bom Hirosima yang meluluhlantahkan seluruh kota, kalimat itu menyapu bersih semua rasa dalam hatiku saat itu.
Hal yang sama terjadi juga dengan Sabila. Setelah berminggu-minggu mendekatinya, dan sempat menghabiskan liburan bersama di Bali, semua rasa kembali lenyap sesaat setelah dia mengatakan hal yang sama. Mahasuci Allah yang membolak-balikkan hati manusia dengan mudahnya.
---
Dering handphone kembali membuyarkan nostalgia kekonyolanku di SMA. Kali ini pesan singkat dari kawan lama di Paskibra, Fatma, muncul dilayar. Belum sempat kubuka pesan singkat darinya, pikiranku kembali terbang ke serambi kelas XI Ipa 5, didepan lapangan upacara.
Hari itu aku duduk menanti kedatangan Fatma. Setelah berbulan lamanya aku PDKT (-pendekatan-red), siang itu rencananya aku ingin menyatakan perasaanku padanya. Tanganku dingin menanti perjumpaan siang itu. Dalam riuhnya kepalaku membayangkan apa yang mungkin terjadi nanti, Satria tiba-tiba melompat dan mengagetkanku. Membuyarkan angan kosong yang sedari tadi menyelimuti pikiran.
“Ngapain bro??”
“Hmm, ga lagi ngapa-ngapain”, ucapku gugup.
Tak sampai helaan nafasku berikutnya, di kejauhan kulihat Fatma sedang berjalan mendekat. Disampingnya ada seseorang yang berjalan mengiringinya
“Eh Sat, siapa tu anak di samping Fatma?”, ujarku penasaran.
“Oh itu, dia tu Andre, anak kelas XI Ips 2”, jawab Satria sambil memainkan Hpnya
“Sekelas dong sama Fatma?”, balasku cepat.
“Yup! Tapi ga cuman sekelas lagi sekarang. Semalem mereka jadian lho. Pas candlelight dinner gitu”
Nafasku terhenti. Di dalam paru-paruku seakan muncul lubang hitam yang menyedot seluruh udara yang tadi memenuhinya.
“Jadian? Yakin Sat?”, ucapku gagap mencoba menguasai diri.
“Yakin sejuta persen Bro. Orang aku liat sendiri semalem”
- REMUK – Hanya kata itulah yang bisa menggambarkan isi dadaku.
Kunikmati kembali teh manis yang kini mulai dingin.
----
Kutuang teh dari dalam poci yang kuletakkan diatas perapian mini dari lilin.
“Alhamdulillah masih ada yang hangat”, gumamku pelan, tak ingin meninggalkan kursi rotan berwarna coklat muda yang setia menemani nostalgiaku.
Kesadaranku kembali menjelajahi memori dalam otakku. Kali ini terbayang sofa bergaris coklat yang ada dirumahku dulu. Diatas sofa itu, sambil mengumbar senyum ke langit-langit, kubaca pesan singkat dari Rahma. Teman sekelasku di XII Ipa 5. Hari itu tepat 6 bulan setelah tragedi siang kelabu Fatma. Dan sudah sebulan terakhir aku dekat dengan Rahma. Pagi, siang, sore, malam, selalu kuhabiskan dengan bercengkrama dengan Rahma melalui pesan singkat. Dari mulai cerita penting mengenai ujian esok hari, hingga cerita kosong tentang gigi yang sakit, menjadi santapan kami berdua.
“Sakit banget nih gusiku”, rengeknya lewat sms.
“Sabar Ma, demi kedokteran gigi. :). Ntar kalo udah selesai kan bakal cantik tu gigi, iya ga bu dokter?”
“Huumph,. :') ” , jawabnya mengakhiri pesan-pesan malam itu.
Rangkaian pesan itu berlanjut berminggu-minggu kemudian. Hingga pada suatu ketika pesan singkatku tak kunjung dibalas olehnya. Berhari-hari pesan singkatku tak ada yang dibalas. Di ruang kelas, ia pun kurasa agak menjauh. Dalam kondisi seperti itu, kuterima pesan singkat dari salah seorang adik kelas.
“Mas, temenku ada yang ngefans lho sama kamu. 3 Hari terakhir nerima sms dari dia kan?”, ucapnya di pesan singkat.
“Hmm, iya gitu? Ada sih yang belakang sms aku terus. Tapi aku ga tau anaknya yang mana”, jawabku
Dan kami pun bertemu.
Alifa namanya. Dalam hati, tak henti-henti aku bertanya-tanya, “Apa sih yang ia lihat dari aku?”. Ia begitu cantik. Jilbab putih yang ia kenakan, berpadu dengan bros bunga berwarna pink, beradu keindahan dengan mata coklatnya yang lebar nan teduh. Kami pun berbincang beberapa saat.
Perbincangan panjang berlanjut hingga pesan singkat di malam harinya. Hal itu masih berlanjut berminggu kemudian. Pesan pesan singkat selalu menjadi cara kami bercengkrama. Hatiku pun luluh oleh perhatiannya. Baru pertama kalinya aku mendapatkan perhatian sebesar itu. Kata sayang pun sempat terucap melalui ujung jariku.
Saat aku begitu nyaman dengan Alifa, entah kenapa tiba-tiba Rahma kembali mendekat. Pesan singkat darinya kembali kuterima, bersama dengan perhatiannya yang dulu pernah kurasa.
Bingung. Nuraniku tak bisa bebohong. Meskipun perhatian yang dicurahkan Alifa begitu meluluhkan hati , aku dusta jika mengatakan aku tak menginginkan Rahma. Dan setelah perenungan cukup lama, aku putuskan untuk mengatakan yang sebenarnya ke Alifa, bahwa hatiku memilih Rahma.
---
Ingatanku kembali melompat ke realita lain. Kini halaman depan rumah Rahma terbayang. Diatas dua kursi kayu yang terpisah meja kecil berhias ukiran, kami berbincang. Satu hal yang paling kuingat dari hari itu ialah Ayah Rahma. Beliau terlihat keluar masuk rumah, seakan-akan aku akan menculik anak pertamanya.
Kami berbincang cukup lama sore itu. Kebanyakan tentang film-film yang pernah kami tonton. Di akhir perjumpaan sore itu Rahma meminjamiku sebuah buku. Aku tak begitu ingat apa judul dari buku tersebut. Tetapi bayang cover berwarna merah jambu dengan ornamen bunga di ujung kanan atas masih tersimpan baik di dalam ingatanku.
Sesampainya di rumah, kubuka lembar demi lembar bukunya. Pelan-pelan kucerna apa isi dari buku ini karena begitu banyak kisah yang ia ceritakan. Kebanyakan mengenai kisah cinta anak-anak SMA dari berbagai penjuru nusantara. Dan pada bagian-bagian akhir ia bercerita tentang makna cinta. Aku pun berfikir keras malam itu. Apa sebenarnya maksud Rahma meminjamkan kepadaku buku itu.
Tepat sebelum aku mulai memejamkan mata untuk mengakhiri hariku, pesan singkat dari Rahma kuterima.
“”
Begitulah kira-kira isi pesan singkatnya.
Semenjak pesan singkat malam itu, Rahma kembali menjauh. Sangat jarang pesan singkatku ia balas kemudian.
---
Pandanganku kini beralih ke sungai kecil yang membelah perkebunan teh dibelakang rumah. Pelan tapi pasti, aliran sungai itu mengawal deaunan rontok yang pasrah terbawa arus menuju hilir. Seakan menghadirkan sensasi de javu yang begitu kuat, pemandangan itu membawaku kembali ke masa akhir SMA.
---
Siang hari yang terik memaksaku berteduh dibawah pohon mahoni yang tinggi menjulang disamping sungai kecil di samping SMA. Anganku yang begitu riuh, seakan berlomba dengan desingan suara motor anak-anak SMA yang pulang sekolah. Dalam keheningan ucap, kumulai mengingat satu per satu peristiwa penting sepanjang hampir 3 tahun usiaku di sekolah itu. Keras aku berusaha menghubungkan noktah-noktah memori yang seakan berserakan dalam ruang hampa tak bertepi. Ku keluarkan pena dan notebook kecil yang selalu kusertakan dalam setiap perjalanan ku. Mulailah kugoreskan pena biru itu, selayaknya pelangi menggoreskan warnanya di awan, membisikkan isyarat kepergian hujan.
Pasti.. Pasti ada maksud dari semua kisahku ini.
Seperti halnya untaian sulam yang tak beraturan
Namun begitu indah diujung serat
Lama aku menatap deaunan yang terbawa alir sungai. Pasrah, tak berdaya. Terkadang ia singgah di perakaran. Namun pada akhirnya tersapu juga menuju ujung aliran. Laksana takdir Yang Maha Adil.
“Takdir?”, pikirku. “Tapi, tiap takdir pun pasti ada makna. Apakah memang aku dijauhkan-Nya dari mereka? Tapi kenapa? Kenapa aku dibuat lupa akan Wati? Kenapa hatiku dibuat menjauh dari Nindi dan Sabila? Kenapa Fatma dibuat-Nya menerima Andre 18 jam sebelum rencanaku? Kenapa Rahma dan Alifa dibuat-Nya membingungkan hatiku? Kenapa?”, tanyaku dalam hati.
Kubuka lagi pesan-pesan singkat dalam handphoneku. Kubaca lagi pesan dari Rahma. Kubaca ia dalam hati “hmm.. Pegangan tangan itu boleh ga sih?”. Itulah tanya terakhir yang kuterima dari Rahma. Hatiku pun mulai menanyakan hal yang sama.
Bangkit aku dari sandaranku. Kubuka lagi buku bercover merah jambu dengan ornamen bunga, yang kupinjam dari Rahma. Kubalik halaman demi halaman, mencari satu kata yang selama ini melekat di benak.
“Hah. Ketemu!!!”, teriakku tak mempedulikan rombongan anak-anak yang sedari tadi penasaran melihat tingkahku.
“Dalam islam itu ga ada pacaran lho kak.”, kubaca tulisan itu dalam hati.
Tanya kembali menyeruak dalam pikiranku. “Terus kalo ga pacaran gimana?”
Pertanyaan itu memenuhi pikiranku sampai berminggu-minggu kemudian. Berbagai buku tentang islam kubaca. Dalam sholat pun tak lupa kubertanya pada yang Maha Tahu. Hingga pada suatu petang di akhir bulan Mei , dengan kebulatan tekad di dada, kubuka kembali notebookku. Dengan pena biru yang sama aku tuliskan ikrarku.
“ Bismillahirrahmanirrahim. Dengan ini saya berikrar, tidak akan pernah berpacaran lagi sebelum akad nikah ku ucapkan”
---
Tak terasa cangkirku tak lagi berisi teh. Poci tanah liat pun kini penuh dengan udara dingin pegunungan. Kuraih poci dan cangkir teh itu, sambil mulai melangkah menjauh dari kursi rotan coklat yang masih hangat karena panas tubuh penggunanya. Kuletakkan keduanya diatas meja dapur, lalu mulai kulangkahkan kaki ke ruang keluarga. Kubuka album foto lama yang tergeletak dibawah meja kaca. Satu per satu kucermati senyum-senyum dalam bingkai-bingkai kenangan. Terbayang kembali kisah-kisah dibalik potret 4R yang tertempel.
Gambar tiga anak muda mengepalkan tangannya keudara ditengah rimba raya yang basah karena embun membawa ingatanku kembali ke masa kuliah. Foto itu diambil di gunung Puntang, sesaat setelah pelantikan pembina Karisma baru. Hari itu aku mendapat keluarga baru.
Walaupun memiliki latar belakang yang amat berbeda satu sama lain, tapi kami saling mendukung. Sungguh sebuah karunia yang akbar, mengingat 6 bulan sebelumnya aku merasa benar-benar sendiri di dunia ini. Selama 6 bulan sebelum momen di potret itu, semua yang ku kenal selalu mempertanyakan ikrarku di petang hari di akhir Mei itu. Tak satu pun dari teman-teman lamaku yang mendukungku seperti kedua pemuda di foto itu. Aku pun belum mengatakan sepatah katapun kepada kedua orang tuaku mengenai ikrarku, karena aku tahu pasti dari cerita beliau berdua, pacaran adalah hal yang mereka dukung.
Dihalaman berikutnya kutemukan potret 6 sahabatku di Karisma. Sambil menggengam pita berwarna warni, dan kotak kado yang selesai di bungkus dengan indahnya, mereka berpose. Kelelahan dimata mereka samar terlihat. Aku ingat betul, sebelum foto itu diambil, seharian mereka menggadaikan raganya dalam persiapan suatu acara besar di Karisma. Disamping foto itu, kuletakkan foto serupa. Enam sahabatku menggenggam pita dan kotak kado, di pertemuan paling bersejarah dalam 27 tahun usiaku. Pertemuan dengan bidadari syurga yang tak ku kenal sebelumnya.
Nostalgiaku terusik oleh tangan mungil lembut yang melingkar di leherku. Sedetik kemudian pemilik tangan mungil itu melompat ke pangkuanku.
“Yah, ayah, dedek Aul kangen tu sama Ayah.”, ucap Aziz.
Pandanganku langsung kulayangkan ke arah sofa biru disamping kananku. Dalam pandanganku kulihat dua bidadari cantik yang Allah karuniakan dalam hidupku. Tatapan teduh perempuan yang sedang menggendong Aulia sungguh menenangkan hatiku.
“Mas, Aulia kayaknya pengen digendong Mas deh.”
Segera kuraih dengan lembut Aulia ke dekapanku. Senyumnya yang mungil melelehkan air mataku. Tangan mungil Aziz kembali melingkar dileherku, ditemani sentuhan dipipi oleh lingkaran putih keperakan yang medekap jari manis bidadari bermata teduh tadi.
“Alhamdulillah ya Rabb. Karuniamu sungguh luar biasa besar”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H