Lama penulis tidak mengungkapkan pikiran penulis dalam bentuk tulisan pasca dihapusnya postingan penulis oleh admin kompasiana -+ 3 bulan lampau karena di anggap berpotensi menciptakan permusuhan (?). ah.. mungkin admin tidak membaca keseluruhan, jangan-jangan hanya melihat judulnya saja. Atau barangkali salah penulis yang maksud hati menggunakan mafhum mukholafah (pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan), tetapi dinilai tetap salah, karena tidak semua pembaca mampu memahami dibalik suatu peristiwa.
Akhir-akhir ini penulis semakin merasakan dengan sesungguhnya perasaan bagaimana dahsyatnya peran media massa (baik cetak atau elektronik) dalam mempengaruhi dan membentuk opini yang berkembang di masyarakat. Terakhir, opini yang berkembang adalah kesalahan sosok bernama Muhammad Nazaruddin dan Andi Nurpati, opini ini dapat dikatakan dibentuk oleh sebagian besar pemberitaan media massa yang menyudutkan mereka. Sebuah hal yang ganjil menurut penulis, karena besar kemungkinan mereka adalah ‘pion atau bidak’ dalam permainan catur… ah entahlah, penulis tidak mau terjebak dalam pusaran politik yang semakin berputar tak tentu arah.
Saya lebih suka berbicara tentang PSSI!, apa hubungan PSSI dengan media? Jadi begini, pasca terbentuknya kepengurusan baru dan berujung pada pemecatan Riedl dari pelatih Timnas, sangat terlihat bahwa media mengontrol opini. Nyaris sebagian besar media massa memandang pencopotan Riedl sebagai sesuatu yang salah, tidak berperi kemanusiaan dan tidak melihat situasi-kondisi (jelang Timnas mau bertanding)!, jika membaca berita dengan cermat, akan terlihat bahwa pihak yang dzalim adalah pengurus yang baru, dan pihak yang didzalimi adalah Riedl (pelatih).
Tidak kalah, Saya pun ikut terkaget dengan berita pemecatan Riedl ini (pun saya tidak dilatih oleh Riedl.. J..), berani sekali pengurus PSSI melakukan perubahan dalam waktu yang sangat sempit, apa tidak menjadi boomerang??. Setelah berfikir dan merenung, saya mengambil kesimpulan premature:
1.Terkadang saya berfikir, pengurus PSSI ini sangat berani menempuh resiko. Semangat idealism yang masih ‘panas’ direalisasikan dengan cara membenarkan hal yang semula salah, (dalam benak saya terlintas kalimat: ah..Cuma ganti pelatih, pemainnya kan masih sama.. kenapa harus bingung?)..
Pikiran saya kemudian meloncat dan terlintas perandaian: “coba pemerintah (zaman reformasi) dulu langsung berbuat hal yang serupa, cepat dan taktis menyelesaikan masalah yang melekat di tubuh orde baru”. Tentu kasus-kasun Andi Nurpati dan Nazaruddin itu tidak akan terjadi, tetapi karena tidak dibersihkan dengan sebersih-bersihnya.. pada akhirnya kita semua terkena getahnya. Dalam hati saya menggerutu: “ah sialan, pajak-pajak yang dibayarkan ternyata Cuma dikemplang oleh petinggi-petinggi untuk kepentingan pribadi… ah, andai pemerintah meniru PSSI sekarang.
2.Lagi-lagi semakin terbukti bahwa kita cenderung cepat menilai suatu peristiwa dengan tergesa-gesa (atau sebaliknya; tergesa-gesa dalam ‘membuat’ peristiwa).
3.Tidak ada kawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan…
4.Saya ingin tidur dan bermimpi: saya tinggal disebuah negeri bernama Indonesia, negeri makmur loh jinawi, damai tentram. Ketika saya pergi ke Luar negeri, saya menemukan penduduknya iri dengan penduduk Indonesia yang memiliki pemimpin/pemerintah yang peduli dengan rakyatnya, saking pedulinya, pemerintah-pun rela ‘menderita’ untuk kepentingan rakyatnya… (mimpi ini lebih baik saya hentikan sebelum selamanya menjadi mimpi belaka..!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H