Perbedaan pendapat telah menjadi fenomena yang umum selama bertahun-tahun, mencakup berbagai isu dari yang sepele hingga yang lebih serius. Meskipun sering terjadi, perdebatan ini tidak selalu memiliki konotasi negatif. Sebaliknya, perbedaan pendapat dapat dipandang sebagai kesempatan untuk saling memperbaiki dan melengkapi satu sama lain. Sebagai contoh, dalam diskusi mengenai konsep negara, terdapat pandangan yang berbeda antara pemikir Barat dan pemikir Islam. Dua tokoh yang mewakili pandangan ini adalah Ibnu Khaldun dan George H. Smith, yang masing-masing memiliki pendekatan unik terhadap pemahaman tentang negara.
Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan sosiolog Arab, menekankan pentingnya asabiyah dalam argumennya mengenai negara. Di sisi lainnya, George H. Smith, seorang filsuf, memberikan kritik tajam terhadap konsep negara yang dianggapnya sebagai institusi yang tidak diperlukan. Smith berpendapat bahwa pemikiran Barat sering kali terlalu berfokus pada konsep kedaulatan yang dianggapnya tidak jelas dan memerlukan banyak penafsiran. Ia mengidentifikasi tujuh jenis kedaulatan yang berbeda, mulai dari kedaulatan Tuhan hingga kedaulatan berbasis kekuasaan.
Dalam pandangannya, Smith menunjukkan bahwa setiap jenis kedaulatan memiliki implikasi yang berbeda terhadap cara kekuasaan dijalankan. Misalnya, kedaulatan Tuhan menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan, sementara kedaulatan rakyat menempatkan kekuasaan di tangan masyarakat. Dengan demikian, perdebatan antara pemikir ini mencerminkan keragaman pandangan tentang bagaimana negara seharusnya dipahami dan dijalankan, serta menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dapat memperkaya diskusi dan pemahaman kita mengenai konsep yang kompleks ini.
George H. Smith mengkritik cara berpikir Barat yang terlalu menekankan konsep kedaulatan, yang ia anggap sebagai ide yang tidak jelas dan memerlukan banyak penafsiran. Dalam pandangannya, kedaulatan sering kali menjadi sumber kebingungan dan konflik dalam politik, karena terdapat berbagai interpretasi yang dapat diambil dari istilah tersebut. Smith mengidentifikasi tujuh jenis kedaulatan yang berbeda, yaitu: kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, kedaulatan abstrak, dan kedaulatan berbasis kekuasaan. Setiap jenis kedaulatan ini memiliki implikasi dan konsekuensi yang berbeda dalam praktik politik dan sosial.
Smith berpendapat bahwa perbedaan penafsiran mengenai kedaulatan ini dapat menimbulkan kebingungan yang signifikan, serta konflik antara berbagai kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang siapa atau apa yang seharusnya memiliki kekuasaan tertinggi. Ia juga menyoroti ambiguitas istilah "kekuasaan" dalam konteks kedaulatan, yang sering kali digunakan secara bergantian tanpa pemahaman yang jelas mengenai maknanya. Dalam pandangannya, negara itu sendiri merupakan hasil dari kekerasan dan paksaan, di mana hak individu dapat dengan mudah dicabut oleh otoritas yang berkuasa.
Namun, meskipun argumen Smith memberikan wawasan yang berharga mengenai kompleksitas kedaulatan, kritiknya cenderung terlalu terfokus pada istilah kedaulatan itu sendiri tanpa menawarkan solusi konkret untuk masalah yang ia identifikasi. Hal ini dapat membuat pembaca merasa terjebak dalam perdebatan yang tampaknya tidak ada habisnya mengenai definisi dan interpretasi kedaulatan, tanpa adanya jalan keluar yang jelas.
Penting untuk diingat bahwa meskipun konsep kedaulatan memang rumit dan beragam, kita seharusnya tidak terjebak dalam perdebatan yang berlarut-larut. Sebaliknya, kita perlu melihat kedaulatan dalam konteks sejarah dan sosial yang lebih luas. Kedaulatan bukanlah sesuatu yang tetap dan statis; ia adalah konsep yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman, dinamika sosial, dan perkembangan pemikiran politik. Dengan memahami kedaulatan dalam konteks yang lebih luas, kita dapat lebih baik menangkap nuansa dan kompleksitas yang ada.
Salah satu tokoh penting dalam pemikiran mengenai negara dalam Islam adalah Ibnu Khaldun. Nama lengkapnya adalah , ia berasal dari Tunisia. Ibnu Khaldun dikenal sebagai pelopor dalam bidang historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Pemikiran Ibnu Khaldun mengenai negara masih relevan hingga saat ini. Ia menganalisis siklus kehidupan negara dan peran ashabiyah, yang memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kekuasaan dan perubahan sosial. Beberapa poin penting dari pemikirannya meliputi: sejarah negara yang tidak abadi, pentingnya solidaritas sosial sebagai dasar negara, perlunya pembaharuan untuk mencegah keruntuhan, serta pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Menurutnya, negara bukan hanya sekadar struktur hukum, tetapi juga organisme yang hidup, berkembang, dan akhirnya mati, dengan asabiyah sebagai kekuatan pendorong utama.
Negara, menurut Ibnu Khaldun, melalui siklus kehidupan yang terdiri dari beberapa tahap. Diawali dengan kelompok masyarakat yang memiliki ikatan asabiyah yang kuat, mereka bersatu dan membentuk negara. Negara ini kemudian mengalami masa kejayaan, di mana kekuasaan dan kekayaan berada di puncaknya. Namun, seiring waktu, asabiyah mulai melemah, dan negara mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh. Meskipun argumen Ibnu Khaldun tentang negara dan asabiyah menarik, ada kekurangan dalam pandangannya. Dia cenderung melihat dari sudut pandang internal, sehingga kurang memperhatikan faktor eksternal yang juga mempengaruhi kondisi negara.
Perbedaan pandangan antara pemikir Barat dan Ibnu Khaldun memiliki dampak dalam konteks modern.
*Ibnu Khaldun: Pandangannya penting untuk memahami identitas nasional, solidaritas sosial, dan peran agama dalam pembentukan negara. Namun, penekanan berlebihan pada "asabiyah" bisa menimbulkan nasionalisme yang sempit.