Di beberapa masjid sekitar rumah kita, warga senang sekali bersalaman. Langsung bersalaman setelah shalat berjamaah selesai. Tidak mengutamakan untuk berdzikir dan berdoa lebih dulu. Langsung salam kiri, kanan, depan belakang. Bila perlu, dua orang ke kanan dan dua orang ke kiri. Depan kiri, belakang kiri, depan kanan, dan belakang kanan. Saya jadi merasa terganggu rasanya, setelah shalat selesai, saya belum dzikir dan do'a sudah menjabat kiri-kanan-depan-belakang.
Bukan tidak ingin menjabat tangan sebenarnya, tapi saya merasa belum selesai menunaikan kewajiban ibadah saya kepada ALLAH. Begitu pula dengan kebutuhan saya akan komunikasi kepada Pencipta saya. Rasanya aneh saja, setelah belum tuntas menunaikan urusan yang lebih penting dengan Dzat terpenting, sudah diminta berhubungan dengan yang tidak lebih penting :)
Beberapa menganggap wajar, dan mau tidak mau, saya juga menjadi begitu. Karena, kita tidak bisa menafikan begitu saja, tidak menjabat tangan bisa dianggap buruk dan diri kita akan menjadi bahan omongan orang-orang. Tapi bukan bahan diskusi bersama mereka, melainkan menjadi bahan omongan mereka di belakang kita.
Masih ingat kasus jabat tangan Menteri Informasi dan Komunikasi, Pak Tifatul Sembiring dengan Michelle Obama? Pak Tifatul yangsetahu saya biasanya memang tidak menjabat tangan perempuan yang bukan muhrimnya. Dan kata beliau, ini adalah prinsip pribadi. Bila terjadi persentuhan antar kedua tangan yang bukan muhrim, kata beliau itu adalah ketidaksengajaan. Dan hal tersebut bukan berarti beliau telah mengubah prinsip.
Jabat tangan memang produk kebudayaan. Artinya, jabat tangan itu hanyalah manifestasi dari sesuatu yang tidak kasat mata, yang berada di dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Jabat tangan memang termasuk sebagai etika, yaitu tingkah laku yang dinilai baik dan dilingkupi oleh perasaan religius, dan ini termasuk langkah adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Wajar saja, beberapa orang melihat jabat tangan sebagai sesuatu yang berbeda. Contohnya ya Pak Tifatul Sembiring dan Michelle Obama.Michelle ingin menjabat tangan karena beliau menghargai bangsa lain, tapi menurut Pak Tifatul, tidak menjabat tangan seorang wanita yang bukan muhrim, berarti sebuah penghargaan bagi perempuan tersebut.
Beberapa komunitas juga melihat jabat tangan sebagai sesuatu yang penting, dan sangat menunjang impresi mereka di hadapan orang lain. Dalam hal ini, para pebisnis atau kalangan professional masuk ke dalam kelompok ini. Mereka akan menjabat tangan orang lain sambil berdiri. Bila mereka sedang duduk? Maka mereka akan berdiri. Sesekali, mereka mengucap pesan singkat : selamat pagi, apa kabar, dan seterusnya. Jabatan tangan mereka juga sangat erat, menandakan keseriusan mereka untuk menjalin hubungan dengan anda. Tatapan mata mereka mengincar mata anda, mengindikasikan kontak hubungan yang ingin dipererat. Semua itu, diiringi dengan senyuman hangat.
Dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung
Saya sangat setuju dengan peribahasa tersebut. Karena di manapun kita dilahirkan dan dibesarkan, kita akan mengalami perbedaan tingkah laku dengan orang lain yang mengalami perbedaan budaya dengan kita. Termasuk di antaranya tentang etika. Mereka dengan etika mereka, bisa jadi sangat berbeda dengan etika kita. Dan kita harus menyadari adanya kemungkinan itu dan siap dengan hal itu. Yang jelas, jangan sampai kita merasa sakit hati teramat dalam ketika orang lain tidak menghargai etika kita. Dan sebaliknya, kita harus pula berbesar hati manakala etika orang lain ternyata tidak sesuai dengan etika yang kita anut, dengan batas tertentu, pastinya. Semua tentang etika ini, adalah masalah kesesuaian antar manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Dan kita hanya harus mencari bentuk yang tepat saja, untuk semua kesesuaian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H