Perubahan sistem ekonomi feodal menuju sistem ekonomi kapitalis-kolonial pada masa penguasaan kolonial Belanda di Bogor, telah membuat masyarakat di Bogor khususnya kelompok petani dalam ketidakpastian dalam mempertahankan hidupnya. Ekonomi perkebunan disatu sisi, dan disisi lain ekonomi feodal yang masih dijaga oleh elite-elite lokal pedesaan di Bogor, telah mengikat petani untuk selalu berhadapan dengan beban kerja dan kewajiban-kewajiban tambahan. Pada masa penguasaan imperium militer Jepang, ternyata melebihi pada masa kolonial Belanda, khususnya dalam aspek eksploitasi sosial dan ekonomi. Harapan diawal-awal kemerdekaan sejatinya yang sempat meninggi, hilang manakala kekosongan pemerintahan di Jawa Barat, akibat peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II. Kekosongan penguasa ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anti Republik, dimana wilayah Jawa Barat, hingga hampir seluruh wilayah Bogor dikuasai oleh gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Konflik antara partai dengan partai maupun partai dengan kelompok militer menjadi semacam fenomena yang mengisi hari-hari kelompok petani dalam usaha mempertahankan hidupnya dalam periode tahun 1960-an
1. Landscape Geografis dan Situasi Ekonomi kota Bogor Awal Abad-20
Daerah Bogor, dengan kondisi geografis pegunungan dan tanah subur, menjadi tempat yang ideal untuk pengembangan produksi agraria seperti pertanian dan perkebunan. Geografi ini mendukung kota Bogor untuk memanfaatkan tanah sebagai alat produksi, yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir, perilaku, dan pandangan masyarakatnya. Bogor, bagian dari Tanah Sunda dan dulunya merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, memiliki sejarah yang kaya dan luas. Secara antropologis, masyarakat Sunda terdiri dari mereka yang secara turun-temurun berbicara dalam bahasa Sunda dan berasal dari Jawa Barat, yang dikenal sebagai Tanah Pasundan.
Menurut Harsojo, masyarakat Sunda menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Tanah subur dengan perpaduan dataran rendah dan pegunungan memberikan hasil bumi yang melimpah, menjadikan identitas Bogor. Penguasa kolonial Belanda kemudian membangun Jalan Daendels untuk menghubungkan Bogor dengan daerah Priangan dan pesisir pantai.
Kondisi geografis yang subur, dengan banyaknya aliran sungai dan mata air, mendukung aktivitas ekonomi masyarakat yang berladang dan beternak. Eka Djati mencatat bahwa Bogor memiliki banyak gunung dan sungai jernih, yang memungkinkan warganya menjalankan berbagai aktivitas ekonomi.
Model produksi masyarakat Bogor mengedepankan kerjasama dalam pengelolaan tanah, di mana tanah dianggap sebagai titipan dari kekuatan yang lebih tinggi. Pengelolaan tanah di Jawa Barat sudah berlangsung sebelum kedatangan VOC, dengan kepemilikan yang bersifat turun-temurun, seperti yang tercermin dalam laporan survei Belanda tahun 1869.
Kepemilikan tanah di Bogor tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga meningkatkan status sosial pemiliknya. Penguasaan sumber produksi berkaitan erat dengan prestise sosial, dan status ini menjadi landasan stratifikasi sosial masyarakat Bogor. Dalam konteks ini, tanah menjadi simbol kekayaan utama, dan kepemilikannya sering kali mendefinisikan posisi sosial individu.
Stratifikasi sosial di Bogor, terpengaruh oleh nilai-nilai Hindu dan Islam, membentuk struktur masyarakat yang lebih teratur. Nilai-nilai ini, yang muncul dari interaksi dengan budaya luar, memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan budaya di Bogor. Sebelum kedatangan Hindu dan Islam, masyarakat sudah memiliki sistem nilai dan budaya sendiri yang dikenal sebagai budaya Wiwitan.
Interaksi sosial antara masyarakat Bogor dan luar Jawa Barat, terutama melalui jalur perdagangan dan pelayaran, menunjukkan adanya pertukaran budaya dan pengetahuan. Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu dan kemudian Islam mencerminkan dinamika sosial ini, dengan nilai-nilai baru yang diserap oleh masyarakat lokal.
Dalam masyarakat agraris seperti Bogor, nilai-nilai Hindu juga mempengaruhi stratifikasi sosial, termasuk konsep kasta. Kasta Brahmana dan Ksatria menjadi kelompok elit yang berwenang dalam pemerintahan dan peraturan sosial, sedangkan Waisya dan Sudra menjalankan tugas yang ditetapkan oleh dua kasta atas.