Mohon tunggu...
Ikhwan Muhammad
Ikhwan Muhammad Mohon Tunggu... profesional -

Dokter dan Praktisi K3/OH&S (Occupational Health & Safety). Awardee beasiswa ADS (Australian Development Scholarship). Menempuh pendidikan Master of Occupational Health & Safety Management (M.OHSM) di University of Adelaide. Blog: www.konsultasik3.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Belajar Harga Tenaga Kerja dari Adelaide

22 Maret 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:24 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemakaian APD (Alat Pelindug Diri) masih menjadi sesuatu yang langka

Oleh: dr.Ikhwan Muhammad

Sejak Juli tahun 2012 lalu saya mendapat kesempatan menggali ilmu Occupational Health and Safety Management (OHSM) di The University of Adelaide – Australia. Masa studi ini saya manfaatkan untuk membandingkan, bagaimana Australia dan Indonesia memperhatikan tenaga kerja nya.

OHSM, atau lebih dikenal dengan istilah K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di Indonesia, adalah sebuah bidang multidisiplin. Di dalamnya terdapat peran ahli manajemen, ahli ergonomi, ilmuwan, psikolog, insinyur, dokter, perawat, fisioterapis dan profesi lain. K3 sebenarnya bukan barang baru. Sudah banyak yang menjadikan K3 sebagai fokus perhatian, terutama perusahaan-perusahaan multi nasional yang dalam proses pekerjaan sehari-harinya membuat tenaga kerja terpapar dengan banyak ancaman sumber bahaya. Sebut saja perusahaan yang bergerak di industri minyak dan gas bumi seperti Chevron, ExxonMobil, dan Santos.

Fakta diatas saya temukan langsung dalam kesempatan studi lapangan di Adelaide. Beberapa perusahaan yang saya kunjungi termasuk diantaranya pabrik pengolahan limbah Adelaide, pabrik pembuatan perangkat pesawat BAE Systems dan pabrik mobil GM Holden. Pada setiap lingkungan kerja tergambar jelas komitmen perusahaan terhadap K3. Paparan sumber bahaya seperti kebisingan, iklim panas, getaran, dan pencahayaan di lingkungan kerja dikontrol dengan baik sehingga nilainya jauh lebih rendah dari ambang batas atas aman. Alat dan perangkat kerja juga didesain dengan memperhatikan aspek ergonomik. Selain itu, pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar merupakan kewajiban bagi setiap tenaga kerja yang dipantau secara khusus.

Ini berbeda dengan yang saya dapat ketika pulang ke Aceh untuk meneneliti bulan di Desember lalu. Ketika itu saya mengamati aspek ergonomi pada prosedur pemindahan pasien di sebuah fasilitas kesehatan di Meulaboh dan tingkat paparan debu kayu di pengolahan kayu Aceh Besar dan Banda Aceh. Hasilnya? Cukup membuat saya terhenyak. Rupanya kita masih jauh dari upaya menyehatkan dan menyelamatkan tenaga kerja kita. Bisa jadi, keadaan ini adalah salah satu kontributor tingginya kunjungan pasien di Rumah Sakit serta rendahnya daya produktivitas industri.

Sumber: Bahaya debu kayu pada proses pengolahan kayu

Salah satu poin yang perlu dicontoh dari lingkungan kerja di Australia adalah sistem perlindungan tenaga kerja nya yang menuntut, atau sistem Work Compensation. Melalui sistem yang berpijak pada undang-undang ini setiap kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang diderita tenaga kerja akan mendapat kompensasi yang tinggi.

Sumber: Pemakaian APD (Alat Pelindung Diri) masih menjadi sesuatu yang langka

Poin penting lain adalah penerapan Australian Standard (AS) yang menyeluruh. Sehingga setiap aspek dalam pekerjaan sudah dijamin keamanannya melalui standar dari hasil uji penelitian bertahun-tahun. Sulit membandingkan AS dengan sistem SNI (Standar Nasional Indonesia) yang masih perlu dilengkapi.

Terlepas dari batasan hukum yang cenderung mengikat tadi, perusahaan-perusahaan besar sebenarnya juga sudah menyadari harga mahal keselamatan dan kesehatan pekerjanya. Pada sesi diskusi setelah studi lapangan, pihak manajemen mengutarakan bahwa upaya K3 ini tidak lain juga untuk mengejar profit, karena setiap waktu kerja yang hilang akibat kecelakaan atau penyakit sebenarnya akan lebih merugikan perusahaan.

Memang perlu disadari bahwa masalah K3 ini kompleks dan tidak sesederhana membalik telapak tangan. Keberhasilan membudayakan K3 di lingkungan kerja melibatkan dukungan berbagai pihak dan stakeholder. Mulai dari pemerintah, pengusaha, akademisi, sampai serikat tenaga kerja dan tenaga kerja itu sendiri.

Namun tentunya kita tidak ingin berlama-lama ketinggalan. Seiring dengan globalisasi, batas-batas teritorial antar negara juga semakin mengabur. Dan ke depan untuk dapat berkiprah di ranah multinasional diperlukan sertifikasi OHSAS 18001, sebuah standar K3 internasional yang menuntut perusahaan untuk melakukan evaluasi keselamatan dan kesehatan pekerjanya secara terukur dan terstruktur.

Semoga kita bisa bercermin dan makin giat berupaya menyehatkan dan menyelamatkan tenaga kerja, terutama untuk mendukung kebangkitan sektor usaha mandiri di Aceh yang tengah menggeliat sehingga mampu bersaing di ranah nasional dan internasional. Semoga! []

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di rubrik Citizen Reporter harian Serambi Indonesia pada tanggal 14/2/2013 (http://aceh.tribunnews.com/2013/02/14/cara-australia-hargai-tenaga-kerja)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun