Kabupaten Serang, Banten - Petani padi di Provinsi Banten tengah menghadapi tantangan besar dalam proses pemanenan akibat kurangnya alat combine dan tingginya harga sewa alat tersebut. Kekurangan ini tidak hanya menghambat proses panen, tetapi juga berdampak pada biaya produksi yang semakin meningkat.
Di tengah hamparan sawah di Kabupaten Lebak, Pak Danya (55), seorang petani yang telah bertani padi selama lebih dari 30 tahun, mengeluhkan sulitnya mendapatkan alat combine untuk memanen padi. Dalam wawancara yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) saat kegiatan turun lapangan (turlap), Pak Danya berbagi kisah dan tantangan yang dihadapinya.
"Dulu, kami panen dengan tenaga manusia, tapi sekarang itu sudah tidak memungkinkan lagi karena memakan waktu dan tenaga yang sangat besar," ujar Pak Danya.
Menurut Pak Danya, alat combine yang merupakan mesin pemanen padi otomatis sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi panen. Namun, jumlah alat tersebut sangat terbatas di wilayahnya. "Alat combine di sini sangat sedikit. Kalau ada yang menyewakan, harganya mahal sekali. Kami harus antri dan sering kali terlambat memanen sehingga banyak padi yang rusak," tambahnya.
Harga sewa alat combine yang mencapai jutaan rupiah per hari menjadi beban berat bagi para petani kecil. "Biaya sewa alat combine bisa mencapai 3-4 juta rupiah per hari. Untuk kami yang hanya punya lahan kecil, ini sangat memberatkan. Kami berharap ada solusi dari pemerintah," kata Pak Danya dalam wawancara tersebut.
Dinas Pertanian Provinsi Banten juga sedang mengupayakan penambahan alat combine melalui program bantuan alat pertanian. Namun, prosesnya memerlukan waktu karena harus melalui berbagai tahap administrasi dan anggaran.
Selain itu, beberapa kelompok tani di Banten berusaha mencari solusi alternatif dengan membeli alat combine secara kolektif. Namun, usaha ini juga menghadapi kendala karena harga alat yang tinggi dan keterbatasan dana. "Kami pernah mencoba mengumpulkan dana untuk membeli alat sendiri, tapi dananya tidak cukup. Kami berharap ada kredit khusus untuk petani agar bisa membeli alat combine dengan cicilan yang ringan," ujar Pak Sulaiman, salah satu petani di Kabupaten Serang.
Masalah ini juga mendapat perhatian dari banyak mahasiswa yang berkuliah di bidang pertanian. Mereka mendorong adanya subsidi dari pemerintah untuk alat pertanian serta program pelatihan penggunaan dan perawatan alat tersebut. "Petani membutuhkan dukungan nyata, tidak hanya dari segi penyediaan alat tetapi juga pelatihan agar mereka bisa menggunakan dan merawat alat combine dengan baik," kata salah satu mahasiswa.
Beberapa petani mencoba mengatasi masalah ini dengan kembali ke metode tradisional, namun hasilnya tidak optimal. "Kalau panen manual, hasilnya sering tidak maksimal dan butuh waktu lama. Padi yang seharusnya bisa dipanen cepat jadi terbuang karena telat," keluh Pak Danya.
Dalam jangka panjang, solusi yang diharapkan adalah adanya program kredit yang lebih mudah diakses oleh petani, serta penambahan alat combine melalui kerjasama dengan sektor swasta. "Kami berharap ada program kredit mikro khusus untuk pembelian alat pertanian dan subsidi sewa alat combine, sehingga kami bisa bekerja lebih efisien dan mengurangi biaya produksi," ujar Pak Danya dengan harapan besar.
Situasi ini menunjukkan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani, diperlukan dukungan yang lebih konkret dari berbagai pihak. Dengan solusi yang tepat, petani padi di Banten diharapkan bisa menghadapi tantangan ini dan meningkatkan hasil panen mereka.